Pernyataan Menkeu Sri Mulyani di Depan Anggota G20, Sebut Pertumbuhan yang Tak Merata dan Vaksin
Pendanaan menjadi salah satu tantangan besar bagi negara-negara yang memiliki komitmen untuk mengatasi perubahan iklim
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyoroti pertumbuhan global yang tidak merata dan akses terhadap akses terhadap vaksin merupakan persyaratan untuk pemulihan berkelanjutan.
Hal itu diungkapkannya saat pertemuan keempat dalam masa Presidensi G20 Italia para menteri keuangan dan gubernur Bank Central G20 pada Rabu (13/10/2021).
Pertemuan diselenggarakan secara hybrid, serta menjadi bagian dari rangkaian pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund and World Bank Group Annual Meeting 2021 IMF WBG AM 2021).
Pertemuan ini juga memiliki nilai penting menjelang pelaksanaan tugas Presidensi G20 Indonesia untuk melanjutkan dan mendorong peran kepemimpinan G20 dalam menjawab tantangan global dan menciptakan pertumbuhan yang semakin inklusif, kuat, dan berkelanjutan.
Baca juga: Visi Indonesia Presidensi G20 Bawa Manfaat Konkret dan Strategis bagi Negara Berkembang
Disampaikan juga tentang upaya pemerintah dalam meningkatkan dan mempercepat vaksinasi kepada masyarakat yang telah mencapai lebih dari 40 persen penduduk, dengan rata-rata 2 juta vaksinasi per hari.
Selain itu, Menkeu menyampaikan bahwa pemerintah memanfaatkan momentum krisis saat ini dalam melanjutkan sejumlah reformasi struktural untuk memperkuat fondasi bagi pemulihan ekonomi, salah satunya melalui Omnibus Law Cipta Kerja tahun lalu dan pengesahan Undang – Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tahun ini.
Di antara banyaknya tantangan global yang saat ini dihadapi, perubahan iklim menjadi salah satu yang terberat dan dapat mengancam peradaban manusia. Tidak hanya itu, perubahan iklim juga dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan stabilitas keuangan global.
Baca juga: Kunjungan Kerja ke Bali, Presiden Tinjau Penanaman Mangrove hingga Venue G20
Oleh karena itu, Indonesia menekankan pentingnya untuk memastikan bahwa transisi hijau dalam upaya penanganan perubahan iklim tidak hanya adil dan teratur, tetapi juga terjangkau (A Just, Orderly and Affordable) terutama bagi negara-negara berkembang dan negara miskin.
“Bauran kebijakan harus memungkinkan negara untuk meminimalisasi konsekuensi yang timbul dari transisi hijau. Upaya penurunan emisi di sektor energi melalui transisi dari penggunaan bahan bakar fosil (fossil phased out) harus dipersiapan dan dilaksanakan secara bertahap, dengan dukungan akses yang terjangkau dalam pembangunan infrastruktur dan teknologi rendah karbon yang berkelanjutan, meminimalisasi kerugian ekonomi dan sosial bagi berkembang dan negara rentan, termasuk memitigasi risiko hukumnya,” ujar Menkeu.
Pendanaan menjadi salah satu tantangan besar bagi negara-negara yang memiliki komitmen untuk mengatasi perubahan iklim. Komitmen negara-negara maju sangat penting dalam mendukung pembiayaan untuk negara berkembang, dan mendorong kerja sama dengan investor publik dan swasta.
Baca juga: AWG G20 Tahun 2022, Indonesia Siap Menjadi Ketua
Disampaikan juga pentingnya skema yang dapat memberikan keuntungan pada instrumen hijau agar lebih banyak menarik investasi. Pemerintah Indonesia akan terus mendukung agenda iklim G20. Salah satu komitmen kuat Indonesia dalam mendukung agenda iklim ialah mengadopsi reformasi fiskal untuk mempercepat transisi hijau.
Saat ini, Indonesia dalam proses menerbitkan peraturan tentang penetapan harga karbon dan mengembangkan Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim. Di sektor keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyusun peta jalan Keuangan Berkelanjutan dalam dua tahap (mencakup periode 2015-2019 dan 2021-2025) sebagai panduan dalam menerapkan pembiayaan berkelanjutan dan memastikan penerapannya efektif.
Hal lain yang diangkat dalam pembahasan G20 adalah dukungan kesepakatan atas dua pilar reformasi pajak internasional, yaitu (1) negara pasar dari perusahaan multinasional berhak mendapatkan alokasi pemajakan atas penghasilan global perusahaan digital global atau multinasional terbesar dan (2) pengenaan tarif pajak minimum global sebesar 15%.
Kesepakatan ini mencerminkan keberhasilan multilateralisme dalam mengatasi tantangan global untuk memerangi praktik base erosion profit shifting (BEPS) dan secara lebih luas, persaingan tidak sehat tarif pajak atau race to the bottom dalam perpajakan internasional.
Dalam sesi “International Taxation”, Menkeu menyampaikan bahwa Indonesia akan terus berkolaborasi secara intensif dengan OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS dalam mengembangkan rencana implementasi untuk memastikan kesepakatan tersebut dilaksanakan secara global paling cepat pada tahun 2023. Indonesia berkomitmen untuk menjaga momentum dalam implementasi dari kesepatakan tersebut pada masa Presidensi tahun 2022.
Di tahun 2022, sebagai Presidensi G20, Indonesia bertekad untuk mengatasi tantangan global yang masih akan muncul dan mencari solusi terbaik, memastikan bahwa semua negara dapat pulih bersama, dan berjalan menuju masa depan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, Indonesia akan mengusung tema “recover together, recover stronger” dalam Presidensi G20 di tahun depan.
“Untuk dapat pulih bersama dan lebih kuat, kita perlu mendorong produktivitas, meningkatkan ketahanan dan stabilitas, serta memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Ini harus didukung oleh kepemimpinan global kolektif yang kuat serta lingkungan dan kemitraan yang memungkinkan,” ungkap Menkeu saat menutup pertemuan G20.