Kewajiban PCR Penumpang Disebut Membuat Maskapai Makin Sekarat, Pemerintah Mana Solusinya?
Kebijakan tersebut dianggap tidak memberikan solusi terhadap kesehatan bisnis penerbangan nasional.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Hari ini, Minggu (24/10/2021) pemerintah resmi memberlakukan ketentuan penumpang pesawat dari dan ke Jawa-Bali harus menggunakan negatif tes PCR.
Kebijakan tersebut dianggap tidak memberikan solusi terhadap kesehatan bisnis penerbangan nasional.
Pengamat penerbangan Gatot Raharjo mengungkapkan seharusnya pemerintah sebelum menerapkan kebijakan tersebut memberikan solusinya terlebih dahulu.
Hal ini untuk menyelamatkan maskapai-maskapai penerbangan nasional yang disebutnya telah sekarat karena pandemi Covid-19.
Menurutnya, kewajiban penggunaan tes PCR yang jauh lebih mahal dari antigen bahkan harganya bisa melebihi harga tiket pesawat justru membuat maskapai tambah setengah mati menjalankan bisnisnya.
Baca juga: Ramai-ramai Menolak Kebijakan PCR Sebagai Syarat Naik Pesawat, Ini Alasannya
Sebagai contohnya AirAsia sempat menghentikan operasi penerbangan, Garuda dan Lion Air pun kembang kempis mempertahankan operasi penerbangan, karena penumpangnya turun drastis.
"Sekarang penumpang harus menggunakan PCR, itu sudah dipastikan penumpang akan berkurang," kata Gatot saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (24/10/2021).
Ia merujuk pada salah satu panduan dari Organisasi Penerbangan Sipil Dunia atau ICAO, panduan ICAO Council’s Aviation Recovery Task Force (CART) yang salah satunya menyebutkan kewajiban pemerintah untuk menjaga kesehatan penumpang dan kesehatan maskapainya itu sendiri.
Baca juga: Hari Ini Aturan PCR Bagi Penumpang Pesawat Jawa-Bali Berlaku, Ini yang Dilakukan AP II
"Penumpang pesawat harus dijaga kesehatannya, tapi jangan mengorbankan maskapainya. Jadi bagaimana caranya pemerintah agar maskapai tetap sehat," ujarnya.
Solusi yang mest dilakukan, jelasnya, pemerintah bisa mencabut surat edaran Kemenhub yang mewajibkan PCR dan menggantinya dengan antigen yang jauh lebih murah. Kalaupun tetap ngotot pakai PCR, harganya harus diturunkan hingga terjangkau masyarakat.
Selain itu, agar kebijakan ini tidak nampak diskriminatif, penumpang moda transportasi lainnya juga diperlakukan sama.
"Ya mesti sama moda transportasi lainnya seperti penumpang bus, kapal laut dan kereta api," ujarnya.
Banyak pelanggaran
Selain itu, jelasnya, Kemenhub juga mesti memberikan pengawasan terhadap pelanggaran aturan yang telah dibuatnya.
Baca juga: SYARAT dan Aturan Terbaru Perjalanan Dalam Negeri, Khusus Transportasi Udara Wajib Tes PCR
Sebagai contoh, kasus penumpang usia 6 tahun yang membuka pintu darurat pesawat Citilink belum lama ini.
"Menurutnya itu adalah sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh maskapai, karena saat ini anak-anak masih dilarang naik pesawat. Tapi pelanggaran juga banyak terjadi di mana-mana," jelasnya.
Akal-akalan Hingga Mahal
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, membeberkan selama ini ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) tes PCR di lapangan banyak diakali oleh penyedia sehingga harganya naik berkali lipat.
"HET PCR di lapangan banyak diakali oleh provider (penyedia) dengan istilah 'PCR Ekspress', yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR yang normal.
Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam," tutur Tulus dilansir Kompas.com dari Antara, Minggu (24/10/2021).
Dia juga menilai kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat diskriminatif karena memberatkan dan menyulitkan konsumen.
"Diskriminatif, karena sektor transportasi lain hanya menggunakan antigen, bahkan tidak pakai apapun," katanya.
Tulus menyebutkan syarat wajib PCR sebaiknya dibatalkan atau minimal direvisi.
Misalnya, waktu pemberlakuan PCR menjadi 3x24 jam, mengingat di sejumlah daerah tidak semua laboratorium PCR bisa mengeluarkan hasil cepat.
"Atau cukup antigen saja, tapi harus vaksin dua kali. Dan turunkan HET PCR kisaran menjadi Rp 200 ribuan," imbuhnya.
Tulus meminta agar kebijakan soal syarat penumpang pesawat terbang benar-benar ditentukan secara adil.
"Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya. Ada pihak pihak tertentu yang diuntungkan," pungkas Tulus Abadi.
Sebaiknya Dihapus
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setidjowarno, mengungkapkan selama ini banyak lab kesehatan yang memaksimalkan keuntungan dari PCR.
Djoko pun menilai kewajiban PCR bagi penumpang pesawat seharusnya bisa dihapuskan.
Jika hal itu bisa dilakukan, ia meyakini bisnis angkutan udara bisa kembali membaik.
"Kalau mau perbaiki bisnis udara, ya hilangkan saja (syarat PCR) atau dibayarkan oleh pemerintah. Lagipula harganya beda-beda.
Bahkan di beberapa tempat juga ditawari surat hasilnya. Tes PCR juga tidak tersedia di semua tempat," ucap dia dikutip dari Kompas.com.
Dalam aturan terbaru surat keterangan hasil negatif RT-PCR maksimal 2x24 jam dijadikan syarat sebelum keberangkatan perjalanan dari dan ke wilayah Jawa-Bali serta di daerah yang masuk kategori PPKM level 3 dan 4.
Untuk luar Jawa-Bali, syarat ini juga ditetapkan bagi daerah dengan kategori PPKM level 1 dan 2, namun tes antigen tetap berlaku dengan durasi 1x24 jam.
Sebelumnya, pelaku penerbangan bisa menggunakan tes antigen 1x24 jam dengan syarat calon penumpang sudah divaksin lengkap.
Djoko juga meminta pihak bandara untuk memperbaiki layanan sebagaimana syarat penerbangan yang sudah ditentukan.
Misalnya saja, terkait aturan tes, pihak bandara dinilai tidak sigap menyiapkan fasilitas tes guna memudahkan penumpang.
"Jujur saja, pelayanan di bandara itu tidak jelas. Kalau di stasiun, untuk pemberangkatan jam 6 pagi, pelayanan tes sudah dibuka sejam sebelumnya.
Kalau di bandara tidak jelas. (Tes) Genose saja antrenya panjang, bahkan saya pernah sampai satu jam. Ini membuat konsumen malas dan enggan bepergian (naik pesawat)," katanya.
Belum lagi terkait biaya tes yang tidak sama antara di Jawa dan luar Jawa meski pemerintah sudah menetapkan harga tertingginya sebesar Rp 495 ribu dan Rp 525 ribu.
"Di luar Jawa itu Rp 495 ribu mau berapa jam pun, semua sama. Tapi di Jawa, Rp 495 ribu untuk hasil 24 jam. Kalau minta yang 12 jam, harganya sampai Rp 750 ribu," ujarnya. (Tribunnews.com/Kompas.com)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.