KSPI Usul Upah Minimum Buruh Naik 7-10 Persen Tahun Depan, Pengusaha Keberatan
Soal kenaikan upah buruh tahun depan, Asaki berharap pemerintah dapat memutuskan hasil yang terbaik dan adil untuk buruh dan pelaku usaha.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kalangan asosiasi usaha menyatakan keberatan atas permintaan kenaikan upah minimum sebesar 7 sampai 10 persen di tahun 2022 mendatang oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto menilai, usulan kenaikan upah minimum 7%-10% jelas sangat memberatkan industri keramik.
Asaki berharap pemerintah dapat memutuskan hasil yang terbaik dan adil untuk kedua belah pihak, baik pelaku industri maupun pekerja.
Asaki tak menampik adanya rencana kenaikan upah minimum bagi pekerja pada tahun 2022 nanti.
“Namun, yang harus dicermati dengan bijak adalah besaran kenaikan gaji tersebut agar tidak membebani kinerja industri keramik yang baru mencoba bangkit usai penerapan PPKM Darurat di Juni lalu,” ujar Edy, Senin (1/11/2021).
Menurut Edy, saat ini kondisi perekonomian Indonesia masih rawan tertekan akibat pandemi Covid-19.
Baca juga: Partai Buruh Minta Jokowi Naikkan Upah Minimum Kota dan Kabupaten hingga 10 Persen
Industri keramik juga masih dibayangi sentimen negatif seperti penerapan pajak karbon yang dapat menaikkan pos pengeluaran hingga ancaman gempuran produk keramik impor.
Alhasil, rencana kenaikan upah minimum di tahun depan harus mengutamakan win win solution.
Baca juga: Depenas-LKS Tripnas Ajak Pengusaha Bayar Upah Minimum Sesuai PP Pengupahan 2021
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, usulan KSPI yang meminta upah minimum naik 7% sampai 10% jelas sangat memberatkan.
Sebab, selama periode PSBB maupun PPKM, modal kerja para anggota APSyFI sudah tergerus banyak.
Baca Juga: BPS akan umumkan data pendukung untuk komponen penghitungan UMP pada 5 November
Ditambah lagi, beban pengeluaran bakal bertambah seiring diberlakukannya pajak karbon di tahun depan. Industri tekstil juga tertekan akibat kenaikan harga batubara dan minyak mentah global.
“Sebetulnya, dengan kondisi saat ini kenaikan di atas 5% saja sudah memberatkan,” ungkap Redma, Senin (1/11/2021).
Dia mengaku, sebenarnya kondisi bisnis tekstil sudah mulai membaik di tengah tren penurunan kasus Covid-19 di Indonesia.
Baca juga: Upah Minimum Kini Mengacu PP 36/2021, Yang Tak Puas Silakan Gugat
Terbukti, utilitas pabrik sudah berada di atas level 80% yang didorong oleh kondisi pasar yang membaik serta ditinggalkannya produk tekstil impor murah asal China.
Namun, perbaikan industri tekstil saat ini dianggap lebih banyak dipengaruhi oleh faktor dari luar seperti krisis energi di China, bukan karena kebijakan pemerintah yang menyasar langsung sektor tersebut.
“Kalau pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang semi permanen untuk menjamin pasar domestik aman untuk produk lokal, kami optimis di tahun 2022 akan terjadi pemulihan,” jelas Redma.
Ketua Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) Mira Sonia menganggap, usulan kenaikan upah minimum tidak sesuai dengan SE Menaker No. M/11/HK.04/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Covid-19.
Memang, dalam industri alih daya (outsourcing), perusahaan alih daya biasanya akan mengambil keuntungan melalui management fee.
Ketika upah minimum naik, maka management fee yang diperoleh perusahaan juga ikut naik. Namun, kembali lagi, pandemi Covid-19 membuat bisnis outsourcing tertekan.
“Kenaikan upah minimum akan mempersulit dunia usaha dan menyebabkan gelombang PHK besar-besaran di tengah kondisi krisis. Ini adalah potensi dampak negatif kepada para pekerja, terutama tenaga alih daya,” ungkap Mira, Senin (1/11/2021).
Saat ini, para pelaku usaha alih daya masih dalam tahap pemulihan usai terhantam oleh dampak negatif pandemi Covid-19.
Industri alih daya juga dalam proses mengimplementasikan regulasi terbaru ketenagakerjaan, terutama UU Cipta Kerja.
Mira menilai, belum semua pelaku usaha dapat beradaptasi secara cepat, sehingga banyak pengusaha alih daya belum dapat mengikuti amanat UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya, seperti kewajiban pembayaran kompensasi, perlindungan jaminan sosial buruh/pekerja, dan lain sebagainya.
“Saat ini ketika berbicara mengenai antisipasi kenaikan upah, sebagian perusahaan alih daya justru banyak yang menurunkan management fee,” ujar dia.
Dengan demikian, banyak perusahaan alih daya yang kemudian beralih menggunakan teknologi untuk operasional bisnis.
Hal ini dapat mengefisiensikan biaya operasi, membantu memberikan nilai tambah yang lebih tinggi, serta harga jasa alih daya yang lebih murah tanpa memotong hak-hak pekerja.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menyatakan, perihal kenaikan upah minimum sebenarnya sudah diatur mekanismenya dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Pada dasarnya pelaku usaha pusat perbelanjaan akan tetap mengutamakan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat keselamatan, keamanan, dan kesehatan para pekerja, serta menunda sementara waktu pekerjaan-pekerjaan dengan kategori lainnya.
“Saat ini hal yang utama dilakukan oleh pusat perbelanjaan adalah melakukan efisiensi,” imbuhnya, Senin (1/11/2021).
Ia menilai, masing-masing pusat perbelanjaan memiliki strategi yang berbeda-beda dalam melakukan efisiensi agar bisa bertahan di masa pandemi Covid-19, termasuk strategi terkait kesejahteraan pekerja.
Laporan Reporter Dimas Andi
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Upah minimum diusulkan naik tahun depan, simak tanggapan pengusaha