Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pekerja Indonesia Diduga Jadi Korban Kerja Paksa di Malaysia, AS Yang Bertindak

Dugaan praktik perbudakan tersebut bukan datang dari Malaysia atau negara asal pekerjanya Indonesia dan India, tetapi dari Amerika

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Pekerja Indonesia Diduga Jadi Korban Kerja Paksa di Malaysia, AS Yang Bertindak
TRIBUNNEWS/Jeprima
Ilustrasi pekerja kebun sawit di Bogor 

TRIBUNNEWS.COM -- Perusahaan minyak sawit asal Malaysia diduga melakukan praktik kerja paksa terhadap para pekerjanya yang kebanyakan berasal Indonesia atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan India.

Dugaan praktik perbudakan tersebut bukan datang dari Malaysia atau negara asal pekerjanya Indonesia dan India, tetapi dari Amerika Serikat (AS).

Hal ini setelah negeri Paman Sam tersebut memblokir impor minyak sawit dan produk olahannya dari perusahaan negeri Jirana, FGV Holdings, yang merupakan salah satu produsen terbesar di dunia.

Penutupan keran impor ini terkait ada dugaan praktik kerja paksa yang dilakukan perusahaan Malaysia kepada puluhan ribu pekerja perkebunannya.

Baca juga: Kasus Suap Izin Sawit Kuansing, KPK Dalami Penyimpangan Rekomendasi BPN

Sebelumnya, Customs and Border Protection (CBP) AS mengeluarkan larangan produk FGV pada Rabu (30/9).

Ini dilakukan setelah penyelidikan selama setahun oleh badan tersebut menunjukkan ada pelecehan, penipuan, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan penyimpanan dokumen identitas secara ilegal terhadap pekerja FGV.

Tapi pada Kamis (1/10/2021), FGV Holding menyatakan, mereka tidak pernah melakukan kerja paksa seperti yang dituduhkan Pemerintah AS.

Berita Rekomendasi

"FGV kecewa karena keputusan tersebut dibuat ketika FGV telah mengambil langkah konkret selama beberapa tahun terakhir dalam menunjukkan komitmennya untuk menghormati hak asasi manusia dan menegakkan standar ketenagakerjaan," kata FCV dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters.

Mayoritas pekerja berasal dari Indonesia dan India FGV Holding menjalankan salah satu bisnis minyak sawit (CPO) terbesar di dunia, dengan total cadangan lahan seluas 439.725 hektare di Malaysia dan Indonesia.

Baca juga: Pengusaha Restoran Sebut Harga Minyak Kedelai Ikutan Naik Seperti Minyak Goreng Sawit

Situs resmi FGV Holdings menyebutkan, mereka memproduksi sekitar 3 juta metrik ton (MT) CPO setiap tahun. Perkebunan mereka di Indonesia terletak di 5 titik utama yang berada di wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

AP News melaporkan, sampai Agustus 2020 lalu, mayoritas pekerja perkebunan berasal dari Indonesia dan India. Pekerja Indonesia tercatat mencapai 11.286 orang, sedangkan pekerja India berjumlah 4.683 orang.

Menurut FGV Holdings, mereka telah menginvestasikan hingga 350 juta ringgit (84 juta dolar AS) selama tiga tahun terakhir untuk meningkatkan fasilitas perumahan, dan memberikan tunjangan kesehatan kepada para pekerjanya.

Laporan tersebut jelas bertolak belakang dengan tuduhan kerja paksa dan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia lain yang dituduhkan.

Terkait dokumen legalitas pekerja, FGV Holdings menyatakan, tidak menyimpan paspor pekerja.

Mereka telah menyediakan tempat aman bagi para pekerja di 68 kompleks perumahan yang disiapkan.

Baca juga: Dorong Praktik Sawit Berkelanjutan, TSE Group Tata Ulang Strategi Kebijakan NDPE

Mereka juga menolak tuduhan bahwa telah merekrut pekerja dari kelompok pengungsi dan tidak mempekerjakan pekerja kontrak.

Semua pekerja migran, termasuk Indonesia, direkrut melalui jalur hukum yang legal dan semuanya tidak dikenakan biaya.

Langkah FGV

Produsen minyak sawit asal Malaysia, FGV Holdings Bhd, telah mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki tuduhan pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menyebabkan larangan impor terhadap produknya.

Kamis (1/10/2021), FGV Holding menyatakan tidak pernah melakukan kerja paksa seperti yang dituduhkan pemerintah AS.

Sebelumnya, Customs and Border Protection (CBP) AS mengeluarkan larangan produk FGV pada Rabu (30/9).

Ini dilakukan setelah penyelidikan selama setahun yang dituduhkan oleh badan tersebut menunjukkan adanya pelecehan, penipuan, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan penyimpanan dokumen identitas secara ilegal terhadap pekerja FGV.

FGV yang merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, memilik berbagai produk turunan dari kelapa sawit yang digunakan dalam makanan hingga kosmetik.

Perusahaan dan pemasok lainnya pernah menghadapi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

"FGV kecewa karena keputusan tersebut dibuat ketika FGV telah mengambil langkah konkret selama beberapa tahun terakhir dalam menunjukkan komitmennya untuk menghormati hak asasi manusia dan menegakkan standar ketenagakerjaan," kata perusahaan itu dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters.

Perusahaan mengatakan semua masalah yang diangkat telah menjadi subyek wacana publik sejak 2015 dan telah mengambil beberapa langkah untuk memperbaiki situasi, yang "didokumentasikan dan tersedia di domain publik."

FGV akan terus terlibat dengan CBP untuk membersihkan namanya, kata perusahaan itu.

Karena hal ini, saham FGV pun turun 6,1% sejak pembukaan perdagangan pada hari ini.

CBP yang tidak mengeluarkan total impor yang dilakukan FGV menyebut, larangan impor ini tidak akan berdampak signifikan pada total impor minyak sawit dan produk minyak sawit AS.

Adapun impor produk minyak sawit AS capai 147 miliar dolar AS sejak Agustus 2018, kata CBP melalui email.

Terjadi di Pabrik Sarung Tangan Juga

Selain terjadi pada pabrik minyak sawit, dugaan kerja paksa juga terjadi pada industri lainnya di Malaysia.

Otoritas bea cukai AS kembali melarang impor dari sebuah perusahaan sarung tangan Malaysia karena dugaan praktik kerja paksa.

Perusahaan bernama Smart Glove ini adalah perusahaan kelima yang masuk daftar hitam AS dalam 15 bulan terakhir.

Dilansir dari Reuters, Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS pada hari Kamis (4/11/2021) mengeluarkan kebijakan "Withhold Release Order" yang melarang impor dari Smart Glove dan kelompok perusahaannya.

Dalam pernyataannya, CBP mengatakan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada bukti yang masuk akal yang menunjukkan fasilitas produksi Smart Glove menggunakan kerja paksa.

Smart Glove merupakan perusahaan yang membuat sarung tangan karet untuk industri medis dan makanan.

Smart Glove masih belum berkomentar soal ditutupnya pintu impor oleh AS.

Pabrik-pabrik Malaysia semakin diawasi ketat atas tuduhan dari kelompok hak asasi dan pekerja yang melakukan pelecehan terhadap karyawan asing, yang merupakan bagian penting dari tenaga kerja manufaktur.

Perusahaan yang dipantau bergerak di berbagai sektor, mulai dari minyak kelapa sawit hingga sarung tangan medis dan komponen iPhone Apple.

CBP mengatakan penyelidikannya mengidentifikasi 7 dari 11 indikator kerja paksa yang ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Smart Glove, tetapi tidak mengatakan yang mana yang ditemukan.

Beberapa indikator yang tertuang dalam peraturan ILO antara lain mengenai jam kerja yang berlebihan, jeratan utang, kekerasan fisik dan seksual, kondisi kerja dan kehidupan yang sewenang-wenang.

Sebelum Smart Glove, AS juga sudah melarang impor dari perusahaan sarung tangan lainnya, yakni Supermax Corp, pada bulan lalu.

Supermax mengatakan akan mempercepat proses yang telah dimulai pada 2019 untuk memenuhi standar ILO.

Perusahaan sarung tangan Malaysia lainnya, yakni Top Glove, juga dilarang oleh CBP atas tuduhan serupa Juli lalu.
Larangan itu dicabut bulan lalu setelah perusahaan menyelesaikan masalah perburuhan.

Selain ketiga perusahaan sarung tangan tersebut, CBP juga melarang produsen minyak sawit Sime Darby Plantation dan FGV Holdings sejak tahun lalu.

Keduanya dilaporkan telah menunjuk auditor untuk mengevaluasi praktik mereka dan mengatakan mereka akan terlibat dengan CBP untuk mengatasi masalah yang diangkat. (Kontan)

Sumber: Kontan

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas