Restorasi Gambut di Indonesia Berhasil Kurangi 266,1 Juta Ton Emisi Karbon
Hingga September 2021 Indonesia telah merestorasi gambut seluas 3,6 juta hektare (ha) di areal konsesi perusahaan
Penulis: Sanusi
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komitmen Indonesia untuk merestorasi gambut dibuktikan dengan aksi nyata di lapangan. Aksi tersebut terbukti mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) secara signifikan.
Hingga September 2021 Indonesia telah merestorasi gambut seluas 3,6 juta hektare (ha) di areal konsesi perusahaan dan 45.950 hektare di areal masyarakat.
Aksi korektif restorasi gambut tersebut mampu berkontribusi pada pengurangan emisi GRK setara 266,1 juta ton karbondioksida (CO2e).
Kepala Sub Direktorat Perlindungan Gambut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Muhammad Askary mengungkapkan aksi restorasi yang dilakukan diantaranya dengan melakukan pembasahan gambut, melakukan revegetasi dan suksesi alami.
"Restorasi melibatkan semua pihak, pemerintah, swasta, dan juga masyarakat," kata dia saat sesi diskusi di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP26 UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, Kamis 11 November 2021.
Askary mengungkapkan untuk pembasahan gambut telah dibangun lebih dari 30.000 sekat kanal. Tujuannya adalah untuk memastikan tinggi air tidak kurang dari 0,4 meter dari permukaan gambut. Pemantauan tinggi permukaan air gambut dilakukan di lebih dari 10.000 titik di Indonesia.
Baca juga: Lahan Gambut Dapat Dimanfaatkan untuk Produksi Pangan Ramah Lingkungan
Pemantauan tinggi muka air bisa dilakukan secara secara online melalui SiMATAG-0,4 M (Sistem Informasi Muka Air Tanah Gambut 0,4 Meter) untuk lahan yang dikelola oleh perusahaan.
Sementara pada lahan masyarakat, pemantauan tinggi muka air gambut dilakukan melalui Sistem Informasi Pemantauan Air Lahan Gambut (SIPALAGA) yang dikembangkan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Baca juga: Cegah Pembakaran Lahan, Metode Demplot Paludikultur Diterapkan di Lahan Gambut Kalteng
Askary menyatakan berdasarkan capaian aksi korektif pengelolaan gambut tersebut dilakukan kalkulasi kontribusi pengurangan emisi GRK yang telah dicapai.
Hasil perhitungan menunjukkan terjadinya pengurangan emisi GRK sebanyak 266,1 juta ton CO2e pada tahun 2020 lalu. "Ini adalah data akurat yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah," kata Askary.
Baca juga: Pemerhati Lingkungan Kritik COP26 Konferensi Iklimnya Negara Kaya
Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Profesor Satyawan Pudyatmoko menyatakan restorasi gambut yang menjaga tinggi muka air tidak lebih rendah dari 0,4 m berdampak nyata pada turunnya kemunculan hotspot kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
"Lahan gambut yang basah ampuh menurunkan risiko karhutla," katanya.
Chief Sustainability Officer APP Sinar Mas Elim Sritaba menjelaskan pihaknya mengikuti arahan pemerintah untuk merestorasi gambut yang ada di dalam konsesi dengan membangun sekat kanal dan melakukan pemantauan tinggi muka air gambut.