Protes UMP 2022, Buruh Ancam Unjuk Rasa dan Mogok Kerja Nasional Pada 29-30 November
enam konfederasi dan 60 federasi serikat pekerja/buruh satu suara menolak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Dalam UU Cipta Kerja kenaikan upah minimum dihitung hanya berdasar variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi (bukan akumulasi).
Baca juga: Depenas Beberkan Alasan Pemerintah Normalisasi Upah Minimum di Indonesia
Namun dalam PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, ada tambahan formula baru yang ditetapkan sepihak oleh Pemerintah, yang tidak diatur dalam UU Cipta Kerja, yaitu penyesuaian nilai upah minimum ditetapkan dalam rentang nilai batas atas dan batas bawah.
Nilai batas atas upah minimum dihitung berdasarkan rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga.
Nilai batas bawah upah minimum dihitung dari batas atas upah minimum dikalikan 50 persen.
Formula baru rentang nilai batas atas dan batas bawah dalam PP No. 36 tahun 2021 inilah yang membuat kenaikan upah minimum 2022 hasilnya justru di bawah inflasi ataupun pertumbuhan ekonomi.
Padahal berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi tertinggi didapat oleh Maluku Utara dengan kenaikan 12,76 persen, Inflasi tertinggi Bangka Belitung 3,29 persen.
Mirah Sumirat mengungkapkan, berdasarkan PP No. 36 tahun 2021, kenaikan UMP 2022 tertinggi adalah di DKI Jakarta menjadi sebesar Rp 4.453.724 dari sebelumnya tahun 2021 sebesar Rp 4.416.186,548.
Apalagi pada tahun 2020 yang lalu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah telah memutuskan untuk tidak menaikkan upah minimum tahun 2021, dengan hanya berdasarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 11/HK04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum tahun 2021 pada Masa Pandemi Covid-19.