Perbankan Banyak Lepas SBN ke Pasar, Bagaimana Efeknya?
Tercatat, kredit perbankan nasional berhasil tumbuh sebesar 3,24% secara year on year atau senilai Rp 5,65 triliun per Oktober 2021.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Langkah perbankan menyalurkan kredit ke masyarakat diprediksi akan terus menanjak.
Pada saat resedi akibat pandemi saja, bank-bank mampu menyalurkan sebanyak Rp 5,65 triliun per Oktober 2021.
Angka atersebut berarti tumbuh sebesar Rp 3,24 persen dibanding tahun sebelumnya.
Dengan ekspektasi pemulihan ekonomi ke depan, penyaluran kredit diprediksi semakin tumbuh.
Baca juga: 117 Bank Dilikuidasi dalam Kurun Waktu 16 Tahun, Mayoritas Bank Perkreditan Rakyat
Ada kekhawatiran ketika perbankan mulai salurkan kredit, pasar obligasi negara akan kena imbas dari aksi jual kelompok perbankan.
Apalagi, saat ini kepemilikan perbankan di Surat Berharga Negara (SBN) yang dominan.
Merujuk data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR), pada awal tahun 2021, kepemilikan bank di SBN mencapai 36,62%.
Namun, per 9 Desember sudah menyusut menjadi 35,26%.
Fixed Income Portfolio Manager Sucorinvest Asset Management Gama Yuki mengatakan, penyaluran kredit yang mulai lancar merupakan hal positif untuk perbankan dan perekonomian.
Baca juga: Kolaborasi OVO dan BRI Hadirkan Layanan Kartu Kredit “OVO U Card”
Pasalnya, hal tersebut menunjukkan bisnis kembali berjalan dan berdampak positif bagi perekonomian.
Gama tak menampik bahwa seiring penyaluran kredit yang mulai lancar, para perbankan akan mulai menjual kepemilikan SBN mereka.
Kendati begitu, ia meyakini aksi jual para perbankan tidak akan memberi dampak yang signifikan ke pasar obligasi.
Pasalnya, kenaikan deposito masih cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan penyaluran kredit, hal ini menunjukkan likuiditas di perbankan masih akan cukup banyak.
“Market domestik masih mampu menyerap SBN yang dijual oleh perbankan, sehingga pasar obligasi masih tetap stabil. Di sisi lain yield dari obligasi pemerintah masih cukup menarik,” kata Gama kepada Kontan.co.id, Jumat (10/12/2021).
Baca juga: Sasar Usaha Ultra Mikro, Bank DKI Pimpin Sindikasi Kredit dan Pembiayaan Rp4 Triliun ke PNM
Selain itu, Gama juga menyebut Bank Indonesia juga masih akan menjadi standby buyer jika memang terjadi aksi jual dari kelompok perbankan.
Pasalnya BI dan pemerintah masih melanjutkan komitmen kebijakan burden sharing pada tahun depan sebagai cara untuk menjaga pasar obligasi.
Oleh sebab itu, secara outlook, menurut dia, obligasi negara pada tahun depan kondisinya tidak akan jauh berbeda dari tahun ini.
Baca juga: BNI Gelontor Kredit Investasi ke Garudafood Rp 1 Triliun
Salah satu yang patut dicermati adalah potensi tekanan bagi pasar obligasi dari inflasi serta kenaikan suku bunga.
Walau demikian, dengan likuiditas yang masih cukup baik, lalu yield masih cukup menarik, serta rupiah yang stabil, seharusnya kenaikan yield dari obligasi negara juga tidak akan terlalu signifikan.
“Untuk akhir 2022 obligasi pemerintah tenor 10 tahun akan berada pada kisaran yield 6,2-6,5%,” tutup Gama. (Hikma Dirgantara)