Merumahi Rakyat untuk Perkuat Daya Saing Bangsa
Perumahan yang layak dan tidak layak memiliki konsekuensi besar pada kualitas pendidikan, kesehatan, dan juga perkembangan mental para penghuninya
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hunian yang layak harus menjadi prioritas pembangunan ke depan.
Terlebih di era pandemi Covid-19 saat ini, ritme kerja dan proses pendidikan masyarakat kita dipaksa untuk beradaptasi dan beralih ke rumah warga (work from home & study from home).
Karena itu, rumah layak huni menjadi kebutuhan krusial untuk dipenuhi guna meningkatkan daya saing bangsa.
Pandangan itu terungkap dalam diskusi bertajuk “Merumahi Rakyat, Membangun Solusi Bagi Masalah Multidimensional Bangsa” yang diselenggarakan Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Universitas Paramadina, Jakarta, bekerja sama dengan Bank BTN, Selasa (14/12/2021).
Baca juga: Bantu Pemerintah Kurangi Emisi GRK dan Karbon, Dua Perusahaan Kerjasama Bikin Hunian Eco-Living
Menurut mantan Ekonom Bank Dunia Vivi Alatas yang menjadi Keynote Speaker pada diskusi tersebut, hunian layak menjadi aspirasi masyarakat kelas menengah maupun kelompok masyarakat yang hampir menjadi kelas menengah (aspiring middle class society) di Indonesia.
“Perumahan yang layak dan tidak layak memiliki konsekuensi besar pada kualitas pendidikan, kesehatan, dan juga perkembangan mental para penghuninya,” kata Vivi.
Hal itu dibuktikan oleh sejumlah riset global, yang menjelaskan bagaimana kelayakan perumahan tempat hunian warga berpengaruh besar pada perkembangan kognitif anak, daya tahan dan kesehatan warga, hingga perkembangan mental para penghuninya.
Karena itu, lanjut Vivi, pemerintah perlu hadir untuk membangun perumahan bersubsidi untuk mendorong meningkatnya jual kelas menengah di Indonesia.
“Beri kesempatan kelas menengah kita. Ketersediaan rumah atau hunian layak akan mendorong produktivitas dan daya saing bangsa, agar bisa berkontribusi dan berpartisipasi pada pembangunan dan demokrasi bangsa," kata Vivi yang juga CEO Askakreativa.
Baca juga: Pasca Pandemi, Warna-warna Segar dan Lembut akan Banyak Dipilih untuk Hunian dan Dekorasi
Sementara itu, ekonom Universitas Gadjahmada (UGM) Elan Satriawan menegaskan masih terbatasnya kepemilikan hunian di Indonesia. Tercatat, sekitar 20 persen masyarakat Indonesia belum memiliki hunian. Angka itu akan naik menjadi sekitar 30 persen, jika kategori hunian dinaik-kelaskan ke dalam kategori hunian layak, misalnya yang memiliki akses air bersih.
“Perlu tindak lanjut kebijakan yang clear yang mengarah pada upaya membangun pemukiman layak, yang ramah anak, ramah lansia, memiliki ruang terbuka hijau, memiliki ruang interaksi sosial yang memadai, dan juga akses kesehatan dan akses transportasi," kata Elan. Rumah bukan hanya tempat berteduh, sambung Elan, tetapi juga harus menjadi ruang untuk mengekspresikan diri, guna membentuk daya saing bangsa.
Sementara itu, Chief Economist Bank BTN Winang Budoyo menyatakan bahwa sektor pembiayaan perumahan telah berupaya seoptimal mungkin untuk menjawab tantangan yang ada, untuk mewujudkan kebutuhan hunian layak, terutama untuk memfasilitasi agar kelompok aspiring middle class bisa naik kelas menjadi middle class.
“Kalau middle class kita semakin kuat, maka fondasi ekonomi negara semakin mapan,” katanya.
“Bank BTN terus memantau dan berusaha menutup gap kekurangan hunian dengan merumuskan ekosistem perumahan nasional. Kami bekerjasama dengan banyak pihak, mulai dari korporasi swasta hingga lintas BUMN, untuk bergerak maju," kata Winang yang juga alumni fakultas ekonomi The University of Queensland, Australia tersebut.
Ke depan, lanjut Winang, keberlanjutan partisipasi pemerintah akan terus ditingkatkan, khususnya terkait penyediaan hunian kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) agar bisa menjangkau masyarakat kelas bawah.
Selanjutnya, Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoriul Umam menegaskan, bahwa prospek perumahan rakyat bersubsidi, khususnya yang bisa menjangkau MBR akan semakin prospektif.
Baca juga: Erick Thohir Instruksikan BUMN Relokasi Hunian Sementara Korban Erupsi Gunung Semeru
Saat ini di Jabodetabek, kata Umam, baru ada sekitar 10 persen masyarakat yang membeli rumah vertikal karena faktor konsepsi budaya tentang rumah yang “harus tapak”.
Jika sosialisasi keamanan, kenyamanan, dan kepastian hukum terkait kepemilikan terus dilakukan, hal itu bisa meningkatkan kepercayaan kelas menengah dan
aspiring middle class untuk beralih ke rumah vertikal di sekitar kota-kota besar.
Tranformasi dari “rumah tapak” ke “rumah vertikal” bisa dilakukan. Jika Singapura bisa mengubah jumlah penghungi rumah vertikal dari tahun 1959 sebesar 8% menjadi 80% pada 2019, maka Indonesia juga berpotensi melakukan transformasi serupa.
“Manfaatkan air space lewat pembangunan rumah vertikal untuk menjawab tantangan ketersediaan tanah di sekitar kota-kota besar. Transformasi hunian vertikal di Indonesia akan sangat prospektif ke depan. Ini yang harus diantisipasi oleh pelaku pasar dan pengembang ke depan,” kata Umam juga alumni Flinders University, South Australia tersebut.