Jaga Ketahanan Energi, Pasokan Batu Bara Dalam Negeri Harus Terpenuhi
Kebijakan pemerintah menghentikan ekspor batubara secara sementara, dinilai memang diperlukan dalam menjaga ketahanan energi nasional.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan pemerintah menghentikan ekspor batubara secara sementara, dinilai memang diperlukan dalam menjaga ketahanan energi nasional.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov mengatakan, pemenuhan batubara domestik untuk mendukung operasional PLTU merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah yang telah memberi penugasan kepada PLN dalam proyek listrik 35 ribu megawatt (MW).
Baca juga: Pasokan Dalam Negeri Minim, Anggota Komisi VII Dukung Larangan Ekspor Batu Bara
"Artinya, penugasan penambahan kapasitas listrik terpasang tersebut tentu harus juga disertai dengan jaminan pasokan batubara untuk operasional PLTU," kata Abra, Senin (3/1/2022).
Menurutnya, kondisi genting defisit pasokan batubara untuk produksi listrik nasional, menunjukkan masih ada sebagian dari pemegang konsesi batubara belum memenuhi komitmennya dalam mendukung ketahanan energi nasional.
Dengan begitu, negara sebagai pemilik kekayaan sumber daya alam (SDA) sudah sewajarnya memastikan kecukupan batu bara untuk hari operasional PLTU di atas 20 hari (HOP).
Di tengah pemulihan ekonomi, kata Abra, seluruh sektor membutuhkan pasokan listrik yang andal, sehingga adanya potensi pemadaman listrik akibat shutdown PLTU akan menjadi malapetaka sosial ekonomi politik yang luar biasa besar.
Baca juga: Ketua Banggar DPR Minta Pemerintah Kaji Ulang Larangan Ekspor Batubara
"Kebijakan ini menjadi pelajaran penting bagi stakeholder industri batubara. Apabila ingin bisnisnya ingin berkelanjutan, maka taatilah kebijakan pemerintah," tuturnya.
Adanya kekhawatiran hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor pertambangan, diperkirakan tidak akan melebihi dampak negatif padamnya pembangkit listrik sebesar 10,8 gigawatt (GW).
Sebab, pelanggan yang terdampak langsung dari terganggunya aktivitas pembangkit tersebut mencapai 10 juta pelanggan.
Di sisi lain, kontribusi perpajakan dari sektor pertambangan hanyalah sebesar 4,8 persen.
"Sektor lain, perindustrian, perdagangan itu 22 persen masing-masing. Kalau tidak ada listrik, mereka juga ga bisa beroperasi," paparnya.