Komisi VII DPR Usir Dirut Krakatau Steel Silmy Karim dari Forum Rapat, Ini Sebabnya
Pimpinan Komisi VII DPR RI mengusir Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim dari forum rapat
Penulis: Reza Deni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pimpinan Komisi VII DPR RI mengusir Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim dari forum rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR hari ini, Senin (14/2/2022).
Pangkal pengusiran itu ketika Wakil Ketua Komisi VII Bambang Haryadi yang memandu jalannya rapat dengar pendapat beradu argumen dengan Silmy Karim soal proyek Blast Furnace.
"Pabrik Blast Furnace dihentikan, tapi satu sisi ingin memperkuat produksi dalam negeri. Ini jangan maling teriak maling. Jangan kita ikut bermain, tapi pura-pura tidak ikut bermain," ujar Bambang, Senin (14/2/2022).
Silmy merespons pernyataan Bambang "Maksud maling bagaimana, Pak?" tanya dia.
Baca juga: Krakatau Steel Mulai Hitung Ceruk Proyek Pembangunan IKN Nusantara
Bambang lantas menunjukkan dugaan kasus pemalsuan SNI yang diduga dilakukan oleh pengusaha Kimin Tanoto. Kasus itu katanya sempat ditangani Polda Metro Jaya.
"Kami minta penjelasannya. Itu salah satu anggota Anda. Namanya Kimin Tanoto," sebut Bambang.
Baca juga: Januari, Krakatau Steel Ekspor Produk Baja 63 Ribu Ton ke Pakistan dan Italia
Silmy lantas menyangkal pernyataan Bambang.
"Saya di sini sebagai dirut Krakatau Steel, bukan sebagai Ketua IICIA (The Indonesian Iron and Steel Industry Association)," balas Silmy.
Pertanyaan itu pun memicu reaksi lebih keras dari Bambang. Ia menganggap Silmy tak menghargai DPR.
"Hormati persidangan ini. Ada teknis persidangan, Kok kayaknya Anda tidak pernah bisa menghargai komisi. Kalau sekiranya Anda enggak bisa ngomong di sini, Anda keluar," kata Bambang.
"Kalau memang harus keluar ya kita keluar," kata Silmy.
"Ya sudah Anda keluar. Di sini ada teknis persidangan, dan Anda sudah menjawab bahwa Anda ingin keluar. Silakan keluar," kata Bambang.
Mengutip Kontan, proyek blast furnace KRAS sudah mulai masuk tahap pengadaan sejak tahun 2009 silam, kemudian proses konstruksi dimulai pada tahun 2012.
Proyek ini akhirnya selesai dan mulai beroperasi pada 11 Juli 2019. Namun, pada 14 Desember 2019, pabrik ini dihentikan operasinya.
Alasannya, terjadi ketidakcocokan antara produksi slab di pabrik tersebut dengan harga slab di pasar, sehingga KRAS berpotensi rugi.
Padahal, pabrik blast furnace tersebut menelan investasi sebesar Rp 8,5 triliun dan termasuk di dalamnya EPC sebesar Rp 6,9 triliun.
Proyek lainnya yang mangkrak adalah proyek pabrik Iron Reduced Kiln (IRK) yang mana KRAS dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) membentuk perusahaan patungan untuk menggarap pabrik tersebut dengan nama PT Meratus Jaya Iron & Steel.
Pengadaan proyek ini sudah dimulai sejak 2008 silam. Produksi IRK dimulai pada November 2012, namun pada 12 Juli 2015 pabrik yang berlokasi di Kalimantan Selatan tersebut berhenti beroperasi.
Nilai investasi proyek pabrik tersebut mencapai Rp 1,2 triliun.
Penghentian operasi pabrik IRK ini disebabkan ketidaksiapan infrastruktur penunjang industri di kawasan pabrik tersebut berada.
Alhasil, biaya transportasi, bongkar muat, dan produksi terjadi pembengkakan.
“Lokasi pabrik jauh dari laut, sekitar 20—30 kilometer dari bibir pantai. Tanah di sana juga milik Pemda, bukan punya Meratus,” ungkap Silmy Karim.