Sri Mulyani: Butuh Rp 3.461 Triliun Turunkan Emisi Karbon
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia membutuhkan dana fantastis untuk mencapai target penurunan emisi karbon pada 2060.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia membutuhkan dana fantastis untuk mencapai target penurunan emisi karbon pada 2060.
Berdasarkan perhitungan Second Biennial Update Reports (2nd BUR) 2018, Indonesia membutuhkan dana sekira Rp3.461 triliun untuk memenuhi target tersebut.Angka tersebut lebih tinggi daripada anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN.
"Kebutuhan anggaran menurunkan CO2 sesuai target Indonesia adalah Rp3.461 triliun. APBN mencoba berperan dalam mendukung penurunan karbon itu," ujar Sri Mulyani dalam Green Economy Outlook pada Rabu (23/2/2022).
Baca juga: Kejar Target Nol Emisi BUMN, Perhutani Gandeng Pertamina Power Indonesia
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia menegaskan upaya penurunan emisi karbon membutuhkan waktu yang panjang karena prosesnya bertahap.
Dana itu dibutuhkan sejak 2018 hingga 2030 nanti.
Menkeu menyiapkan pemenuhan anggaran dalam bentuk pajak, belanja negara, maupun pembiayaan.
Dari sisi pajak, pihaknya menggunakan policy perpajakan untuk memberikan insentif bagi dunia usaha agar melihat kesempatan investasi ekonomi hijau.
"Kita bisa memberikan pengurangan pajak bumi dan bangunan untuk pengembangan panas bumi dan energi baru terbarukan (renewable energy). Ini desain APBN untuk menggunakan sisi perpajakan," ucap Ani sapaannya.
Berdasarkan kajian Climate Change Fiscal Framework (CCFF) terdapat selisih pembiayaan hingga 40 persen untuk dapat mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030 yang merupakan bagian dari Persetujuan Paris (Paris Agreement).
Baca juga: Pemerintah Pangkas 10,37 Juta Ton Emisi Karbon Pembangkit Listrik di 2021
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mencatat sektor energi dan transportasi menjadi sumber biaya tertinggi.
Pembiayaan digunakan untuk pembangunan sumber energi baru dan terbarukan (EBT), pemberhentian pembangkit listrik dengan sumber energi fosil, transisi menuju kendaraan ramah lingkungan hingga pembangunan infrastruktur penunjang.
"Perlu adanya optimalisasi pemanfaatan anggaran dan mobilisasi sumber-sumber pembiayaan perubahan iklim secara optimal untuk menutup selisihnya," jelasnya.
Kemenkeu juga telah menerbitkan beberapa instrumen pembiayaan (green bond), baik bersifat konvensional atau syariah (sukuk), dalam bentuk rupiah maupun dalam bentuk denominasi dollar AS.
Adapun kerangka untuk menerbitkan surat berharga dihubungkan dengan kegiatan inovatif dan target pengendalian penurunan karbon dengan nama SDGs government Security framework.
Tercatat dari tahun 2018-2021, penerbitan obligasi hijau sudah mencapai 3,5 miliar dollar AS. Green sukuk menjadi salah satu instrumen yang cukup diminati dan memiliki daya tarik secara global.
"Di level domestik kita telah menerbitkan green sukuk ritel sejak tahun 2019 mencapai Rp 11,8 triliun sampai tahun 2021. Sedangkan pemerintah menerbitkan SDGs bonds dalam denominasi euro 500 juta untuk membiayai pembangunan berkelanjutan dengan maturity mencapai 50 tahun dan tingkat yield yang sangat rendah," pungkas Ani. (Tribun Network/Reynas Abdila)