Harga Minyak Melonjak Makin Tinggi Dikhawatirkan Picu Krisis Biaya Hidup Global
Harga komoditas mengalami kenaikkan paling tinggi sejak 2009 karena invasi Rusia ke Ukraina dan mengancam pasokan energi, tanaman dan logam.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga minyak mentah semakin naik hingga menembus level 105 dolar Amerika Serikat (AS) per barel dipicu oleh ketegangan antara Rusia dan Ukraina di Eropa Timur.
Harga komoditas mengalami kenaikkan paling tinggi sejak 2009 karena invasi Rusia ke Ukraina dan mengancam pasokan energi, tanaman dan logam.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, 23 indeks komoditas berjangka di Bloomberg mengalami kenaikkan hingga 4,1 persen, dan angka tersebut naik lebih dari 2 kali lipat dari level terendahnya dalam kurun waktu 4 tahun terakhir.
"Sanksi yang diberikan oleh Amerika, Eropa, dan Asia telah membuat kesepakatan perdagangan dengan kedua negara itu terhenti. Melonjaknya biaya pengiriman kapal ke zona perang telah mendorong harga komoditas persisten untuk mengalami kenaikkan," ujar dia melalui risetnya, Rabu (2/3/2022).
Baca juga: Unit Perlawanaan Siber Ukraina Incar Jaringan Listrik dan Kereta Api Rusia
Nico menjelaskan, Rusia merupakan pemasok utama minyak mentah, gas alam, biji bijian, pupuk, dan logam seperti aluminium.
Khusus untuk minyak, Rusia merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia, yang bermitra dengan Arab Saudi dalam aliansi OPEC+.
Baca juga: Cegah Invasi Rusia Lewat Jalur Laut, Turki Tutup Selat Bhosporus dan Dardanelles
"Dari dulu, perang selalu membuat situasi dan kondisi semakin buruk. Khususnya, terkait dengan krisis biaya hidup global, yang telah mendorong tingkat inflasi di Amerika naik ke level tertingginya sejak 1982," katanya.
Baca juga: Konflik Rusia dan Ukraina Masih Panas, Ini Rekomendasi Saham yang Diprediksi Bakal Cuan
Alhasil, Nico menambahkan, inflasi yang tinggi ini pula yang membuat bank sentral di seluruh dunia menjadi pusing tujuh keliling.
"Yang membuatnya pusing adalah, apabila kenaikkan tingkat suku bunga terlalu besar, ini akan mengganggu prospek pemulihan ekonomi global, karena perekonomian baru saja kembali dibuka. Bank sentral juga mempertimbangkan kebutuhan terkait dengan biaya pinjaman terhadap risiko pertumbuhan ekonomi yang jadi terhambat," pungkasnya.