Agar Subsidi Tepat Sasaran, Akademisi Usul Harga BBM Nonsubsidi Diserahkan ke Mekanisme Pasar
Kenaikan harga minyak dunia hingga saat ini belum sepenuhnya diikuti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi.
Penulis: Sanusi
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kenaikan harga minyak dunia hingga saat ini belum sepenuhnya diikuti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi.
Dari empat jenis BBM nonsubsidi yang didistribusikan PT Pertamina (Persero), baru tiga jenis BBM yang harganya sudah disesuaikan, yaitu Pertamax Turbo, Pertadex, dan Dexlite, yang volume penjualannya hanya 3 persen saja.
Sementara Pertamax yang volumenya sekitar 12 persen, harganya masih tetap bertahan sejak lebih dari dua tahun lalu, yaitu Rp 9.000 per liter.
Karena bukan BBM bersubsidi, gap harga Pertamax menjadi beban Pertamina yang semakin lama menjadi semakin berat. Saat ini produk BBM sejenis Pertamax dengan kadar oktan (RON) 92 dari perusahaan lain dijual sekitar Rp 11.900-Rp 12.990 per liter.
Baca juga: Ekonom: Pengguna BBM Nonsubsidi Kelompok Menengah Atas, Wajar Harganya Ikuti Mekanisme Pasar
Pakar Hukum Pertambangan dan Energi dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi, mengatakan agar subsidi tepat sasaran, sebaiknya harga BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite sesuai mekanisme pasar.
Hal ini selaras dengan spirit UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Migas yang telah dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.
“Bahwa terkait harga BBM bersubsidi yang harganya diatur pemerintah, sedangkan BBM nonsubsidi dapat diserahkan ke mekanisme pasar,” ujar Ahmad Redi, Rabu (16/3/2022).
Oleh karena itu, sudah sewajarnya harga Pertamax disesuaikan dengan harga pasar karena diperuntukan bagi masyarakat mampu.
Menurut Redi, harga BBM nonsubsidi harus mengikuti pasar atau sesuai harga pasar dan tidak boleh membebani APBN.
Harga BBM nonsubsidi juga tidak boleh membebani rakyat karena APBN berasal dari rakyat, kecuali beban subsidi dalam APBN terus bertambah.
“Hal ini sudah sesuai dengan konsepsi hak menguasai negara atas migas dan prinsip efisiensi berkeadilan dalam Pasal 33 UUD 1945,” ujarnya.
Sebagai perseroan (PT), lanjut Redi, Pertamina harus mendapatkan keuntungan (profit oriented), selain pula untuk menjalankan PSO (public service obligation).
Aspek PSO sudah dilakukan pada BBM subsidi, bahkan termasuk Pertalite yang sejatinya tidak masuk kategori BBM Penugasan.