Analis: PPN Naik Jadi 11 Persen Menggerus Nilai Rupiah dan Daya Beli
Analis mengatakan, inflasi masih jadi ancaman pemulihan ekonomi dunai, termasuk Indonesia.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, inflasi masih jadi ancaman pemulihan ekonomi dunai, termasuk Indonesia.
Menurut dia, tidak cukup kenaikan harga komoditas imbas perang, rencana kenaikan PPN menjadi 11 persen yang akan diterapkan pada 1 April 2022 dapat mengerek naik tingkat inflasi dalam negeri.
"Pada akhirnya dirasakan langsung dampaknya di masyarakat, mulai dari tergerusnya nilai mata uang hingga menekan daya beli," ujar dia melalui risetnya, Selasa (22/3/2022).
Dia mempertanyakan ketepatan waktu untuk menaikkan tarif PPN, karena di waktu bersamaan, objek pajak baru yaitu pajak karbon turut diberlakukan.
Baca juga: Inflasi Maret Diprediksi 0,54 Persen, Komoditas Cabai Merah hingga Telur Ayam Jadi Penyumbang Utama
"Di mana, pajak tersebut dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Tarif pajak karbon yang dikenakan sebesar Rp 30 per ton Co2 atau setara yang akan dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim," kata Nico.
Baca juga: Pemerintah Siapkan 5 Langkah Strategis Pengendalian Inflasi 2022
Pajak karbon ini akan dikenakan pada saat pembelian barang yang mengandung karbon dan sebagai tahap awal akan dikenakan pada sektor usaha Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Di tengah gejolak harga komoditas, Nico menilai waktunya memang belum tepat untuk menaikkan tarif pajak baik PPN maupun pajak karbon.
Hal ini bukan hanya membebani masyarakat, tapi juga para pelaku usaha yang kemungkinan besar dalam masa pemulihan aktivitas bisnis dan neraca keuangan pasca pandemi.
Di sisi lain, rencana kenaikan pajak berpotensi semakin mendorong tren positif penerimaan negara.
"Intervensi pemerintah dan kejadian luar biasa seperti krisis energi dan konflik Rusia-Ukraina mempercepat laju pemulihan ekonomi dalam negeri. Hal tersebut membawa target defisit anggaran maksimal sebesar 3 persen pada 2023 berpotensi tercapai, mengingat pada 2021, defisit anggaran sudah bisa ditekan hingga di bawah 5 persen," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.