Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Dampak Perang Rusia-Ukraina, Harga Pupuk Melonjak, Dunia Dibayangi Krisis Pangan dan Gizi

Perang Rusia dan Ukraina tak hanya memicu krisis di antara kedua negara tersebut, namun juga menghadirkan ancaman baru bagi pasokan pangan

Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Sanusi
zoom-in Dampak Perang Rusia-Ukraina, Harga Pupuk Melonjak, Dunia Dibayangi Krisis Pangan dan Gizi
AFP/GENYA SAVILOV
Foto ini diambil pada 6 April 2022 menunjukkan mainan dan barang-barang pribadi di antara gemuruh di depan bangunan tempat tinggal yang hancur, di kota Borodianka, barat laut Kyiv. - Mundurnya Rusia minggu lalu telah meninggalkan petunjuk tentang pertempuran yang dilancarkan untuk menguasai Borodianka, hanya 50 kilometer (30 mil) barat laut ibukota Ukraina, Kyiv. (Photo by Genya SAVILOV / AFP) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Namira Yunia Lestanti

TRIBUNNEWS.COM, MOSCOW – Perang Rusia dan Ukraina tak hanya memicu krisis di antara kedua negara tersebut, namun juga menghadirkan ancaman baru bagi pasokan pangan dunia.

Hal ini terjadi lantaran adanya penangguhan atau moratorium pada komoditas pupuk ammonia, dimana pupuk tersebut merupakan senyawa utama yang digunakan para petani dunia untuk meningkatkan hasil produksi pertaniannya.

Baca juga: Rusia Tingkatkan Dana Pengeluaran Daruratnya Sebesar 3,5 Miliar Dolar AS

Ketegangan antara Rusia dan Ukraina telah mendorong keduanya untuk membanting kemampuan berdagang. Bahkan keseriusan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam menginvasi Ukraina membuat pihaknya menangguhkan semua kegiatan ekspor di Moscow termasuk perdagangan pupuk.

Ancaman inilah yang kemudian memicu hadirnya efek berantai hingga mengancam ketahanan pangan bagi populasi di seluruh dunia.

Organisasi penelitian Prancis CEPII, mencatat kehadiran Rusia dianggap sebagai pemeran utama dalam ekspor pupuk dunia, terbukti dalam sepanjang tahun 2020 lalu, penjualan pupuk Rusia tembus hingga 7,6 miliar dolar AS.

Namun karena Rusia menangguhkan ekspor komoditas pupuknya, membuat dunia mengalami pengetatan pasokan hingga memicu adanya lonjakan harga pupuk yang lebih tinggi.

BERITA REKOMENDASI

Melansir data Green Markets Amerika Utara yang dikutip dari Businessinsider, saat ini semua biaya pupuk termasuk urea, kalium, dan diammonium fosfat terpantau melonjak sebesar 42 persen, lonjakan ini mulai terjadi ketika Rusia menginvasi Ukraina pada akhir Februari kemarin.

Bahkan sebelum adanya invasi harga pupuk telah merangkak naik sekitar 260 persen. Kenaikan tersebut yang kemudian membuat pasokan pupuk global di masa depan menjadi tegang.

Daya Beli Turun

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dalam laporannya menjelaskan bahwa dengan naiknya harga pupuk dapat mengakibatkan turunnya daya beli serta tingkat penggunaan pupuk pada produksi pertanian. Hal ini tentunya berimbas pada berkurangnya total produksi hingga membuat adanya penurunan kualitas pangan.

"Kami sudah melihat kenaikan harga, dan ini dapat menyebabkan peningkatan kelaparan dan kemiskinan dengan implikasi yang mengerikan bagi stabilitas global." kata Gilbert Houngbo, presiden Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian PBB.

Lebih lanjut, demi meminimalisir membengkaknya pengeluaran untuk komoditas pupuk para petani bahkan mulai menggantikan nutrisi komersial pupuk dengan menggunakan kotoran hewan. Meski diklaim dapat menjadi alternatif pengganti, namun kehadiran kotoran tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman.

Munculnya permasalahan ini lantas makin memperburuk masalah inflasi dunia, mengingat harga pangan merupakan komponen utama dari ukuran inflasi. Tercatat harga gandum dunia kini naik 39 persen ke level 11,2 dolar AS per bushels hanya dalam kurun waktu satu bulan terakhir.

Sementara indeks harga pangan FAO, yang melaporkan rekor pangan melonjak 12,6 persen pada bulan Maret lalu. Angka ini tentunya membuat lompatan besar ke level tertinggi, sejak FAO didirikan pada 1990.

Bahkan efek rantai kenaikan pupuk yang memicu krisis pangan, mendorong program pangan dunia PBB untuk mengurangi separuh bantuan makanan untuk 8 juta orang kelaparan di Yaman.

Direktur eksekutif program tersebut, David Beasley, mengatakan kombinasi dari dana yang berkurang dan harga yang melonjak berisiko mendorong jutaan orang Yaman ke dalam kondisi kelaparan.

"Kami tidak punya pilihan selain mengambil makanan dari yang lapar untuk memberi makan yang kelaparan," tambah Beasley.

Tak hanya itu kekhawatiran lain yang muncul akibat adanya kenaikan pupuk, yaitu adanya kerusuhan sipil di negara-negara dengan pasokan makanan yang tidak stabil. Kejadian seperti ini pernah terjadi pada 2007 dan 2008 dimana guncangan harga pangan memicu kerusuhan di Haiti, Bangladesh, dan Mozambik.

Kemiskinan

Hal serupa juga terjadi di Saudi Arabia, pada awal 2010-an ketika orang-orang berjuang dengan kelaparan dan kemiskinan memobilisasi melawan kebijakan pemerintah mereka.

Mengantisipasi kejadian tersebut terulang kembali, Bank sentral The Fed pun mulai mengambil langkah baru untuk menaikkan suku bunga di awal Maret kemarin. Upaya ini dilakukan demi mengurangi dampak inflasi.

Meski kebijakan The Fed tidak sepenuhnya dapat menutup kesenjangan antara pasokan dan permintaan makanan, namun dengan cara ini setidaknya dapat meredam kecepatan laju inflasi.

Dampak Konflik Ukraina, Krisis Pangan dan Gizi Afrika Semakin Buruk

Seorang analis ketahanan pangan Kader Harmonis memperkirakan jumlah warga Afrika Barat dan Tengah yang terkena dampak krisis pangan dan gizi akan mencapai rekor tertinggi pada Juni 2022.

Rekor ini diperkirakan akan naik sebanyak 4 kali lipat dalam 3 tahun, dari 10,7 juta penduduk pada tahun 2019 menjadi 41 juta penduduk di tahun ini.

Krisis pangan dan gizi akan semakin diperparah dengan adanya krisis iklim, gangguan sistem pangan, produksi pangan terbatas, hambatan perdagangan regional dan kejatuhan sosial ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang telah menghancurkan perekonomian nasional.

Selain itu, konflik yang sedang berlangsung di Ukraina juga mengganggu perdagangan pangan global, pupuk dan produk minyak yang mengakibatkan tingginya produk pertanian yang sudah mencapai rekor tertinggi di wilayah itu.

Setelah konferensi tingkat tinggi di Paris, Prancis yang membahas mengenai keamanan pangan dan gizi di Afrika Barat pada Selasa (6/4/2022) kemarin, Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD) dan Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WFP), menyerukan komitmen politik dan keuangan jangka panjang untuk mengatasi krisis ketahanan pangan dan gizi terburuk yang melanda kawasan ini dalam sepuluh tahun.

Direktur Regional WFP untuk wilayah Afrika Barat, Chris Nikoi mengatakan kebutuhan pangan di wilayah Afrika Barat telah meningkat lebih cepat, dan diperlukan perubahan langkah untuk memenuhi permintaan kebutuhan pangan.

“Situasinya semakin tidak terkendali. Kebutuhan meningkat jauh lebih cepat daripada yang dapat kami tanggapi saat ini ini dalam lingkungan operasional yang sangat kompleks dan mudah berubah. Baik pemerintah maupun mitra membutuhkan perubahan langkah dalam mengatasi penyebab utama kelaparan dan kekurangan gizi. Tindakan politik yang berani dan ketat diperlukan sekarang, termasuk menghilangkan hambatan terhadap perdagangan regional dan memastikan kebutuhan paling mendesak terpenuhi selama musim paceklik yang diproyeksikan akan sangat menantang di kawasan ini” kata Chris Nikoi, yang dikutip dari laman reliefweb.int.

Sementara itu, harga makanan secara mengejutkan melonjak sebesar 40 persen, di beberapa negara seperti Liberia, Sierra Leone, Nigeria, Burkina Faso, Togo, Niger, Mali, dan Mauritania.

Koordinator Sub-Regional untuk Afrika Barat dan perwakilan FAO di Senegal, Dr Gouantoueu Robert Guei mengungkapkan saat ini FAO sedang berusaha untuk mengatasi krisis pangan di Afrika Barat dengan mengembangkan sistem pangan dan pertanian.

Baca juga: Bandara Dnipro Dua kali Dihantam Rudal, Ukraina Desak Jerman Tambah Embargo Gas Rusia

“Krisis pangan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dihadapi kawasan ini menawarkan kesempatan bagi kami untuk mengatasi akar penyebab kerawanan pangan di sub-kawasan dengan mengembangkan sistem pangan dan pertanian yang tidak terlalu bergantung pada guncangan eksternal, dan pertanian lokal yang lebih produktif dan efisien dengan penekanan khusus pada konsumsi produk makanan lokal” kata Dr Gouantoueu Robert Guei.

Sedangkan di beberapa negara perlu mendapat perhatian serius mengenai ketahanan pangan dan gizi mereka, khususnya di negara-negara Sahel seperti Burkina Faso, Mali, Mauritania, Niger dan Chad. Di negara-negara tersebut, diperkirakan enam juta balita akan menderita kekurangan gizi akut di tahun ini.

Perwakilan IFAD Regional di Afrika Barat, Benoit Thierry mengatakan Pemerintah di wilayah Afrika perlu mendukung rencana pertanian jangka panjang.

“Afrika memiliki potensi lahan subur terbesar yang belum dimanfaatkan, namun sebagian besar negara ini mengimpor makanan. Pemerintah perlu mendukung rencana pertanian jangka panjang untuk generasi berikutnya, termasuk investasi dalam mengembangkan pertanian, peternakan dan perikanan untuk mencapai ketahanan pangan”, kata Benoit Thierry.

Di tengah konflik Ukraina, Lebanon menghadapi krisis Gandum

Menteri Ekonomi dan Perdagangan Lebanon, Amin Salam mengatakan Lebanon menghadapi masalah kekurangan pasokan gandum. Negara ini telah kehilangan cadangan nasionalnya dalam ledakan Beirut yang terjadi pada tahun 2020.

“Jadi, ini menciptakan tantangan tambahan bagi Lebanon karena sejauh ini kami telah menggunakan silo sektor swasta untuk menyimpan gandum.” ujar Amin Salam.

Dilansir dari arabnews.com, Lebanon mengimpor sekitar 80 persen gandumnya dari Rusia dan Ukraina dan baru-baru ini berjuang untuk mencari pasokan baru untuk memenuhi permintaan gandum di negaranya. Selain gandum, Lebanon juga menghadapi tantangan kekurangan pasokan minyak bunga matahari dan gula.

Salam menambahkan Lebanon telah gagal untuk pulih dari tekanan inflasi pandemi COVID-19.

“Daya beli sangat rendah, dan (ada) banyak tantangan lain termasuk jumlah besar pengungsi per kapita yang kita miliki di Lebanon yang menambah lapisan tantangan lain.”

Saat ini Lebanon sedang dalam pembicaraan dengan masyarakat internasional untuk membantu memulihkan ekonominya. Beberapa negara termasuk Amerika Serikat dan Prancis ikut tergabung dalam pembicaraan internasional ini, yang membahas mengenai pasar alternatif potensial untuk produk makanan.

Baca juga: Alexander Dvornikov Ditunjuk Rusia sebagai Komandan Perang di Ukraina

“Kami berharap negara-negara itu dapat mendukung kami dengan rantai pasokan,” ungkap Salam.

Lebanon juga sedang mengerjakan sebuah program utama dengan Bank Dunia, yang diharapkan akan segera diluncurkan dalam beberapa minggu mendatang. Delegasi IMF yang berada di Lebanon, dikabarkan sedang mencapai kesepakatan untuk menyelamatkan perekonomian negara tersebut.

“Sejauh ini, semuanya bergerak sangat positif. Kami berharap segera ada kesepakatan kepegawaian, yang menempatkan kereta di jalurnya.”

Salam juga mengatakan IMF dapat membantu Lebanon keluar dari krisisnya.

“Kami tahu bahwa cadangan nasional kami berada di tempat yang sangat sulit. Tetapi kami sangat yakin bahwa perjanjian IMF akan membantu Lebanon keluar dari krisisnya.”

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas