Gelombang Inflasi Merambah ke Kawasan Asia, Bank Sentral Eropa Rancang Kebijakan Baru
Tekanan inflasi di Asia bahkan telah membuat terganggunya laju ekonomi di beberapa negara terbesarnya, seperti China, India, Singapura, Korea Selatan
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – Gejolak inflasi imbas dari panasnya konflik perang Rusia dan Ukraina telah berdampak pada berbagai harga di pasar global, termasuk harga pangan dan energi di kawasan Asia.
Tekanan inflasi di Asia bahkan telah membuat terganggunya laju ekonomi di beberapa negara terbesarnya, seperti China, India, Singapura, Korea Selatan hingga beberapa nnegara lainnya.
Munculnya inflasi yang mengglobal ini kemungkinan besar terjadi lantaran adanya kenaikan harga pada komoditas minyak dan gas Rusia, hingga memicu lonjakan pada harga pupuk dan ongkos transportasi impor.
Baca juga: Konflik Rusia Vs Ukraina, Inflasi Mulai Membayangi, Apa Dampaknya untuk Pemulihan Ekonomi RI?
Memanasnya inflasi yang terjadi di Asia membuat Lembaga keuangan, Asian Development Bank memprediksi jika kenaikan harga komoditas di tahun ini akan mencapai 3,7 persen.
“Tekanan rantai pasokan Asia akan memburuk dalam beberapa bulan ke depan, menambah kekhawatiran tentang inflasi global,” ujar Krystal Tan, ekonom di Bank besar Australia ANZ.
Tak hanya itu, lonjakan inflasi yang terjadi AS membuat The Fed menaikkan suku bungannya, hingga menggiring Asia untuk mengikuti tren ini.
Data Indiatimes menyebut imbal hasil obligasi pemerintah daerah telah meningkat sepanjang tahun ini, dengan Korea Selatan sebagai pemimpinnya.
Sementara itu indeks pengembalian total Asia yang sedang berkembang justru turun 2,6 persen hingga mencatatkannya sebagai yang terburuk sejak 2013 lalu.
Hadirnya inflasi global bahkan telah membuat India sebagai negara terpadat kedua di dunia ikut terpukul. Terpantau krisis pangan dan energi yang terjadi negara Bollywood naik hampir 80 persen.
Gubernur bank sentral India, Shaktikanta Das menyebutkan bahwa pergerakan atas proyeksi ekonomi makro dan inflasi India mulai terasa sejak akhir Februari lalu.
Tak jauh berbeda dengan India, mengutip situs indiatimes.com harga produsen di China naik 8,3 persen dari tahun lalu. Sementara bank of Japan menyebut jika harga makanan segar di negaranya kini melonjak dari tahun sebelumnya hingga mencapai 0,6 persen pada Februari kemarin, lonjakan harga ini lantas mengerek naiknya harga energi di Jepang.
Demi mengamankan harga dari bahaya inflasi agar tak menghambat laju pertumbuhan ekonomi, Bank sentral Singapura dan Korea selatan justru telah mengambil langkah dini dengan memperketat kebijakan moneter.
Baca juga: Jika Harga Pertalite Hingga Listrik Naik, Inflasi Tembus 5 Persen, Rakyat Miskin Bakal Melonjak
Dimana Korea Selatan terpantau menaikkan suku bunga negaranya sebesar 25 basis point sedangkan Singapura memperketat kebijakannya dengan mengubah rentang nilai tukar.
Selain imbas dari adanya konflik panas Rusia dan Ukraina. Chang Shu, Kepala Ekonom Asia menjelaskan jika adanya lockdown atau pengetatan wilayah di China juga telah memberikan pengaruh dan tekanan pada rantai pasokan Asia.
Meski tak ada cara khusus yang dapat menghentikan laju inflasi dunia namun Chang Shu menilai jika laju inflasi bisa diminimalisir tergantung bagaimana kita merespon kebijakan ini terhadap pergerakan harga yang sedang bergejolak.
Bank Sentral Eropa Rancang Kebijakan Baru
Pejabat Bank Sentral Eropa (ECB) pada Kamis (14/4/2022) melangsungkan rapat terbatas untuk menanggapi adanya permasalahan inflasi yang dapat menganggu pertumbuhan ekonomi Eropa di masa dapan.
Dengan dihadiri 25 anggota dewan pemerintah Eropa, pertemuan ini merupakan kali kedua yang diadakan ECB sejak Rusia melancarkan agresinya ke Ukraina pada 24 Februari 2022 lalu.
Dilansir dari situs Barrons, pertemuan ini sengaja dimaksudkan untuk membahas prospek ekonomi zona Eropa yang masih suram akibat konflik Rusia dan Ukraina.
Dalam pertemuan terbatas tersebut, dewan ECB berencana mempercepat penghentian program pembelian obligasi (quantitative easing/ QE), yang seharusnya rampung pada Juli 2022 mendatang.
Seruan percepatan program QE makin gencar dilakukan dewan ECB setelah harga di pasar Eropa semakin bergejolak, hingga meningkatkan biaya impor untuk komoditas energi seperti minyak dan gas hingga komoditas makanan.
Baca juga: Inflasi di Inggris Makin Menggila, Sentuh Level Tertinggi Sejak 3 Dekade Terakhir
Melonjaknya harga tersebut bahkan telah mendorong bank sentral Federal Reserve AS untuk menaikkan suku bunga negaranya.
Langkah ini pun juga diikuti oleh beberapa sekutunya seperti Bank of England dan Bank of Canada, dengan tujuan untuk menghambat laju inflasi yang tengah membayangi negara.
Rangkaian sanksi yang ditujukan untuk menghacurkan ekonomi Rusia, justru menyerang balik Eropa dan sekutunya.
Situs AFP mencatat, pada Maret kemarin laju inflasi di zona Eropa telah meroket ke angka 7,5 persen, melompat jauh diatas target bank sentral ECB yang hanya memprediksi sekitar 2 persen.
Pecahnya perang dan harga yang tidak terduga tentunya memberikan pukulan serius bagi ECB.
Presiden ECB Christine Lagarde menyebut lonjakan inflasi kali ini jauh dari perkiraan bank, bila tak kunjung ditangani dengan cepat tentunya semakin memperburuk kondisi perekonomian Eropa.
Untuk itu Lagarde mengimbau agar ECB mempercepat penghentian program pembelian obligasi sambil menaikkan suku bunga di tiap-tiap negara.
Meski cara ini tak sepenuhnya dapat menghentikan laju inflasi namun dengan ini setidaknya dapat membantu mengamankan perekonomian Eropa agar tak terperosok dalam jurang resesi ekonomi.
Inflasi di Inggris Makin Menggila
Perekonomian Inggris kini sedang dihajar oleh laju inflasi yang makin menggila. Inflasi di Inggris meroket tajam ditandai oleh melonjaknya harga berbagai harga kebutuhan pokok.
Hal ini menyebabkan laju inflasi tahunan di Inggris mencapai level tertinggi dalam tiga puluh tahun terakhir.
Mengutip data Reuters, inflasi yang terjadi di Inggris pada Maret 2022 melonjak naik mencapai 7 persen, angka ini jauh lebih tinggi dari bulan Februari lalu yang hanya sekitar 6,2 persen.
Kantor Statistik Nasional (ONS) Inggris menyebut,indeks harga konsumen tersebut adalah yang tertinggi sejak Maret 1992.
Kepala ekonom ONS, Grant Fitzner menjelaskan tekanan inflasi yang terjadi di Inggris merupakan imbas dari penguncian wilayah akibat pandemi Covid-19 ditambah lagi dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina.
Kedua hal inilah yang kemudian mendorong lonjakan harga di berbagai kebutuhan pokok seperti bahan bakar kendaraan, pakaian serta furniture.
“Kami melihat kenaikan biaya yang disebabkan oleh tekanan global dalam rantai pasokan dan pasar energi kita yang dapat diperburuk lebih lanjut oleh agresi Rusia di Ukraina,” kata Menteri Keuangan Inggris Rishi Sunak.
Kenaikan indeks harga penyebab inflasi diprediksi akan terus meningkat, seiring dengan hadirnya ancaman pada perekonomian global.
Bahkan Samuel Tombs, kepala ekonom Inggris memprediksi jika pada April ini inflasi di negaranya akan mencapai 8,8 persen.
Mengantisipasi makin merangkaknya harga di pasar global, memaksa bank-bank sentral di seluruh dunia termasuk bank sentral pemerintah Inggris untuk menaikkan suku bunga negara.
Bank of England (BoE) diketahui telah menaikan suku bunganya dari 0,1 persen menjadi 0,75 persen. Cara ini diklaim dapat menahan laju inflasi tanpa harus menghentikan pertumbuhan negara.
Meski begitu nantinya Inggris akan tetap mengalami perlambatan tajam dalam pertumbuhan ekonomi di sepanjang tahun 2022.