Konflik Rusia Vs Ukraina, Inflasi Mulai Membayangi, Apa Dampaknya untuk Pemulihan Ekonomi RI?
Kendati mendapat tekanan karena inflasi di tataran global meroket, Banjaran menilai masih optimistis dengan pemulihan ekonomi di Tanah Air
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pengamat ekonomi optimistis terhadap pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis akibat pandemi Covid-19, kendati dibayang tekanan inflasi akibat krisis geopolitik perang Rusia-Ukraina, dan momentum Ramadan dan libur Idulfitri diyakini mendorong ekonomi lebih bergeliat di tataran bawah.
Hal tersebut disampaikan oleh ekonom dari Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Universitas Indonesia (UI) Banjaran Surya Indrastomo dan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah dalam diskusi yang diselenggarakan IGICO Advisory, dengan mengangkat tema “Inflasi Meroket, Ancaman Nyata Pemulihan Ekonomi?” pada Rabu sore (13/4/2022).
Dalam paparannya, Banjaran mengatakan bahwa konflik Rusia Ukraina memantik peningkatan disrupsi rantai pasok global.
Baca juga: Gelombang Inflasi Merambah ke Kawasan Asia, Berdampak Pada Kenaikan Harga Pangan hingga Energi
Tak ayal hal itu mengerek kenaikan harga beberapa komoditas penting dunia. Harga batubara menyentuh harga tertinggi sepanjang masa mencapai US$440 per metrik ton pada awal Maret lalu. Harga minyak mentah mencapai US$127,98 per barel pada Selasa (8/3) lalu, dan menjadi tertinggi sejak JUli 2008. Pun demikian dengan gas alam mencapai US$5,64/mmbtu.
Hal itu tentu mendorong inflasi secara mendunia. Banjaran memaparkan data per Maret lalu, inflasi Amerika Serikat (AS) mencapai 8,5% tertinggi sejak 1982. Di Eropa di kisaran 7,5% tertinggi sepanjang sejarah, di Inggris 7% tertinggi sejak April 1982. Di India 7% tertinggi sejak November 2020. Di Korea Selatan 4,1% tertinggi sejak Desember 2011, di Brasil 11,3% tertinggi sejak November 2003.
Baca juga: Harga Pertalite dan Listrik Naik, Analis: Inflasi Tembus 5 Persen, Masyarakat Miskin Bakal Melonjak
Sedangkan di Indonesia 2,6% tertinggi sejak April 2020. Banjaran yang juga menjabat Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) ini pun mengatakan inflasi di Indonesia berdasarkan harga bergejolak, yang mencatatkan pertumbuhan tertinggi sejalan dengan kenaikan harga beberapa komoditas pangan jelang Ramadan seperti cabai, minyak goreng, dan telur.
Kendati mendapat tekanan karena inflasi di tataran global meroket, Banjaran menilai masih optimistis dengan pemulihan ekonomi di Tanah Air. Tingkat inflasi Indonesia dinilainya masih wajar dan tidak selamanya buruk. Memanfaatkan momentum Ramadan, inflasi yang sedikit naik membuat perputaran uang lebih banyak di masyarakat menandakan daya beli yang naik dan tentunya mendorong ekonomi lebih bergeliat di tataran bawah.
“Saya pikir kita harus tetap optimistis. Memang ketakutan pasar recovery ini tidak berjalan lancar. Dalam proses recovery itu dibutuhkan policy yang akomodatif. Pro terhadap investasi, pro terhadap borrowing terutama. Memberikan stimulus dengan suku bunga yang rendah itu relatif supaya cost of borrowing bisa diputar dalam roda perekonomian. Saat cost of borrowing rendah berarti geliat terhadap permintaan pinjaman itu menaik. Dalam kondisi recovery itu dibutuhkan. Jadi sektor riil sektor dan finansial sama-sama ngegas,” ujarnya.
Optimisme Banjaran pun mengacu pada beberapa hal. Seperti suku bunga acuan Bank Indonesia yang sejak Februari 2021-Maret 2022 tetap 3,5%. Nilai tukar pun melemah tipis secara bulanan pada Maret 2022 dari Rp14.365 per dolar AS menjadi Rp14.368.
Baca juga: Inflasi AS Tinggi, Bank of Amerika Peringatkan Resesi Sudah di Depan Mata
Selain itu, indeks manufaktur pada Maret 2022 meningkat menjadi 51,3 dari 51,2 pada bulan sebelumnya. Indeks penjualan ritel pun menjadi 203,97 pada Maret 2022 dari 200,03 pada bulan sebelumnya. Indeks keyakinan konsumen pun masih berada di tataran optimistis yaitu di posisi 111.
“Kinerja industri manufaktur menunjukkan peningkatan sejalan dengan membaiknya kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia. Indeks penjualan ritel periode Maret 2022 diperkirakan tumbuh positif walaupun kondisinya di tengah tekanan inflasi. Di sisi lain, indeks keyakinan konsumen masih berada di zona optimis,” ujarnya.
Perkembangan sektor rill pun tak kalah menarik. Pasar mobil dan rumah yang seringkali menjadi indikator melemah atau mengutanya kondisi ekonomi, menunjukan grafik menanjak. Penjualan mobil pada Maret tercatat 98.524 unit dari 81.228 pada Februari. Sedangkan indeks harga properti residensial pada kuartal empat 2021 mencapai 217,56 dari 217,13 pada kuartal pertama 2022.
Untuk itu, Banjaran pun memproyeksikan tingkat inflasi dalam negeri akan berada di level 3% sepanjang kuartal dua 2022. Level tersebut dinilai masih wajar. Hal ini dipengaruhi oleh pergerakan kenaikan harga pangan di bulan Ramadan hingga adanya tahun ajaran sekolah baru dan penyelenggaraan event internasional.
Dalam acara yang sama, ekonom INDEF Rusli Abdulah menyebut konflik geopolitik di Eropa tersebut tak hanya mendorong penaikan komoditas utama. Namun ikut pula mengatrol harga pangan dunia. Sehingga mencapai indeks tertinggi dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Organisasi pangan dunia di bawah PBB, Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat, food price index mencapai 155,9. Meat price index menembus 112, dairy price index mencapai 142, cereals price index 166,5, oils price index 243,2 dan sugar price index 115,4. Hal itu, menurutnya akan mengatrol harga-harga kebutuhan pokok di Tanah Air.
Kendati demikian, Rusli memiliki optimisme yang sama dengan Banjaran. Menurutnya, kebijakan pemerintah saat ini cukup mampu menahan tekanan global akibat inflasi. Seperti masifnya vaksinasi yang berbuah pelonggaran kebijakan PPKM yang dinilai akan mendorong aktivitas ekonomi.
“Selain itu pemerintah sudah menyiapkan bantalan social insidental. Saya pikir ini akan menopang ekonomi di bawah. Oleh karena itu saya optimistis dengan perbaikan ekonomi Indonesia. Kita harus optimis dong,” ujarnya menegaskan.
Baca juga: Investor AS Waspadai Risiko Resesi Akibat Kenaikan Suku Bunga The Fed
Rusli menyebut total bantalan sosial itu mencapai Rp47,3 triliun di luar Program Keluarga Harapan (PKH). Jika dirinci dari jumlah tersebut Rp6,5 triliun untuk bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng, Rp8,8 triliun untuk Bantuan Subsidi Upah (BSU). Serta sebesar Rp32 triliun BLT dana desa di luar penerima BSU dan BLT minyak goreng dan diperkirakan menjadi game changer dalam menghadapi tekanan ekonomi.