DPR: Ulah Mafia Migor Rugi Perekonomian Nasional
Masyarakat telah dirugikan atas kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng di pasaran sejak awal tahun.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribun Network, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kinerja Kejaksaan Agung menangani kasus mafia minyak goreng mendapat apresiasi. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta mengatakan pengungkapan kasus ini menunjukkan penegak hukum memiliki sensitivitas yang terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Wayan menegaskan potensi kejahatan akan selalu ada di balik kesulitan yang dihadapi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
Untuk itu kejelian, sensitivitas, empati terhadap kesulitan masyarkat luas harus juga menjadi pegangan bagi penegak hukum, baik di Kejaksaan Agung, Polri, maupun KPK.
“Nilai keadilan, dan kemanfaatan hukum harus selalu didahulukan daripada nilai kepastian hukum itu sendiri. Mafia minyak goreng bukan hanya bertentangan dengan nilai kepastian hukum, tetapi juga mengingkari nilai-nilai kemanfaatan dan keadilan hukum bagi masyarakat,” kata Wayan dalam pernyataannya kepada Tribun, Kamis(21/4/2022).
Baca juga: KPPU Terima Laporan Dugaan 9 Perusahaan Jadi Kartel CPO, Berikut Daftarnya
Ia menaruh harapan besar bagi Kejaksaan agar terus berdiri di depan kepentingan masyarakat luas dalam melakukan penegakan hukum.
Wayan mendorong Kejaksaan Agung menggunakan ketentuan pidana korupsi kepada pelaku mafia minyak goreng.
Baca juga: LaNyalla: Kasus Korupsi Ekspor CPO, Bukti Kerakusan Oligarki Sawit
Menurutnya, mafia minyak goreng sudah masuk kategori perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, baik perorangan maupun korporasi, merugikan keuangan negara, juga merugikan perekonomian nasional.
“Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah terpenuhi,” ujar Wayan.
Baca juga: Ekonom: Cabut Saja Izin Ekspor Produsen CPO yang Terseret Kasus Korupsi
"Perbuatan para mafia minyak goreng ini malah secara nyata telah merugikan perekonomian nasional bahkan sampai pada kerugian pada tingkat pemenuhan kebutuhan masyarakat,” tegas pengacara senior yang juga mantan aktivis LBH Jakarta ini.
Masyarakat telah dirugikan atas kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng di pasaran sejak awal tahun. Wayan menegaskan besarnya kebutuhan pasar dalam negeri atas ketersediaan minyak goreng sangat berpotensi mafia minyak goreng tidak hanya dimainkan oleh pihak yang sudah dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung saat ini.
Untuk itu, Wayan juga mendorong Kejaksaan Agung dapat menyasar pihak-pihak lain yang memiliki potensi tinggi terlibat dalam kegiatan mafia minyak goreng ini.
“Saya percaya Kejaksaan Agung tidak akan berhenti sampai di titik ini. Dengan kehebatan sumber daya manusia ditambah dengan modal kewenangan baru dalam UU Kejaksaan yang telah diubah belum lama ini, saya mendorong dan menaruh harapan besar Kejaksaan Agung dapat menyasar pihak-pihak lain yang turut bermain sebagai mafia minyak goreng ini,” urai Wayan yang juga mantan pengacara Presiden Joko Widodo di Mahkamah Konstitusi ini.
Kejaksaan Agung mengungkapkan nama-nama tersangka kasus mafia minyak goreng yaitu Indrasari Wisnu Wardhana (IWW), Master Parulian Tumanggor (MPT) selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Stanley MA (SMA) selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup (PHG), dan Picare Togare Sitanggang (PT) selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas.
Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan duduk perkara yang menjerat keempat tersangka. Perkara ini berawal dari adanya kelangkaan minyak goreng pada akhir 2021 hingga menyebabkan naiknya harga minyak goreng.
Kemudian, pemerintah melalui Kemendag mengambil kebijakan untuk menetapkan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) bagi perusahaan yang ingin melaksanakan ekspor CPO dan produk turunannya. Selain itu, Kemendag menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sawit.
"Dalam pelaksanaannya perusahaan eksportir tidak memenuhi DPO namun tetap mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah," ucap Burhanuddin. Para tersangka itu diduga melanggar Pasal 54 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, b, e, dan f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.