Dirjen EBTKE: Potensi Energi Baru Terbarukan RI Capai 3.686 Gigawatt
Indonesia diharapkan tidak mengalami krisis energi seperti yang terjadi di Eropa pada akhir 2021 lalu kekurangan sumber daya energi.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyampaikan potensi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih sangat melimpah dan bervariasi.
Menurutnya, EBT yang belum digarap nilainya mencapai 3.686 Gigawatt (GW). "Ini bisa untuk mengejar target net zero emission (netralitas karbon) di 2060," kata Dadan dalam seminar Energy Summit 2022, Selasa (31/5/2022).
Dadan menjabarkan potensi EBT tersebut berasal dari energi surya dengan 3.295 gigawatt (GW), hidrogen sebesar 95 GW, bioenergi 57 GW, panas bumi dengan 24 GW, energi bayu atau angin sebesar 155 GW dan laut sebesar 60 GW.
"Potensi EBT kita ini juga tersebar. Jadi energi hidro itu di Papua banyak, Aceh juga, di NTT itu anginnya besar," ujarnya.
Dia berharap Indonesia tidak mengalami krisis energi seperti yang terjadi di Eropa pada akhir 2021 lalu kekurangan sumber daya energi.
Baca juga: Masyarakat Energi Terbarukan Optimis Bisa Perjuangkan UU EBT di DPR
Menurutnya, mayoritas dari negara Eropa memilih pembangkit angin sebagai transformasi ke EBT.
"Di November kemarin UK mengalami pemadaman listrik karena pakai angin dan surya sedangkan di sana sedang tidak ada angin. Kita alhamdulillah, selain besar potensi EBT, ini juga bervariasi. Kita punya hidro, bioenergi, ini bisa didorong," urai Dadan.
Dadan meyakini strategi menuju net zero emission, emisi sektor energi bisa ditekan menjadi hanya 400 juta ton CO2e pada 2060.
Baca juga: Dukung Energi Terbarukan, MMS Group Kembangkan Pembangkit Energi Surya
Sebagai langkah konkret, pemerintah akan mempensiunkan PLTU batu bara dan pemakaian tenaga nuklir untuk listrik juga akan dilakukan.
Mulai tahun 2026, pemerintah mencanangkan tidak ada lagi tambahan kapasitas PLTU, kecuali kapasitas dari yang sudah berkontrak atau sedang dibangun.
"Kami optimalkan soal pemanfaatan tenaga nuklir. Nanti juga banyak menggunakan tenaga surya, mengistirahatkan PLTU sehingga, zero emission di 2060 bisa tercapai," imbuh Dadan.
Tantangan Rumit
Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury di agenda yang sama menilai untuk menuju karbon netral pada 2060 ada beberapa tantangan yang cukup rumit.
Pemerintah menyusun langkah strategis melalui pembangunan dan pengembangan kapasitas yang dihasilkan pembangkit energi baru dan terbarukan.
Baca juga: Kementerian ESDM Beberkan Enam Jurus Percepat Gunakan Energi Baru Terbarukan
“Misalnya EBT hidrogen nantinya akan digunakan untuk transportasi dan kegiatan mobilitas yang tinggi,” kata Pahala.
Pahala sepakat untuk menurunkan ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara karena menyumbang emisi sangat besar.
Ia mendorong adopsi kendaraan listrik untuk sektor mobilitas agar diakselerasi. Dia menyebut pemakaian kendaraan listrik bisa diterapkan lebih dulu untuk kendaraan roda dua.
"Penerapan itu lebih ekonomis ketimbang menunggu implementasi pada roda empat," jelasnya.
Pahala mengatakan perlunya upaya memperluas penerapan nature based solutions (NBS) dengan cara reboisasi.
“Apalagi setelah kita hitung, NBS Indonesia terbesar kedua di dunia untuk NBS berbiaya rendah,” ujar dia.
Pemerintah juga mengajak industri harus komitmen menggunakan EBT berkelanjutan serta menata ulang ekosistem pasar karbon antar BUMN. Penataan itu diharapkan menjadi contoh pembentukan pasar karbon nasional.