Ribuan Kantor Cabang Bank Tutup, Eks Karyawan Bisa Pindah Kerja ke Fintech
Otoritas Jasa Keuangan(OJK) merilis data adanya penutupan kantor cabang bank yang tutup sejak tahun 2019 hingga tahun 2022.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan(OJK) merilis data adanya penutupan kantor cabang bank yang tutup sejak tahun 2019 hingga tahun 2022.
Ada sekitar 2.597 kantor cabang bank tutup atau menjadi 28.350 unit dari 107 jumlah bank.
Pada tahun 2020 berdasarkan data OJK jumlah kantor bank tercatat 30.733 unit dari 109 bank. Lalu pada tahun 2021 jumlah kantor bank tercatat 29.999 unit dari 107 bank.
Data OJK juga menyebutkan jika jumlah kantor dari empat bank BUMN tercatat sebanyak 14.595 unit. Angka ini turun 3.026 unit dari periode 2019 yang berjumlah 17.621 unit kantor cabang.
Selanjutnya untuk Bank Pembangunan Daerah (BPD) tercatat 4.983 unit dari total 27 bank BPD.
Kemudian bank swasta nasional tercatat 8.925 unit kantor cabang dari jumlah 68 unit bank pada periode Februari 2022. Angka ini turun 149 unit dibandingkan periode 2019 yang tercatat 9.074 unit dari 71 jumlah bank swasta.
Baca juga: Percepat Digitalisasi Layanan Perbankan Tanpa PHK Pegawai, Ini Strategi Bos BRI
Selain itu juga ada jumlah kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri. Per Februari 2022 tercatat 27 unit kantor cabang dari 8 bank. Lalu pada 2019 36 unit kantor cabang dari 8 bank.
Terkait hal tersebut, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk menegaskan untuk terus memperkuat seluruh lini bisnis untuk menciptakan pertumbuhan berkelanjutan.
Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan, hal ini turut meliputi bisnis perseroan di sektor ritel yang menunjukkan kinerja positif. Bos BRI juga mengungkapkan bahwa lini bisnis perseroan bakal terus ditingkatkan dengan optimalisasi layanan digital.
"Penyuluh digital akan digencarkan sehingga nasabah mendapat pendampingan saat mengakses layanan digital," ucap Sunarso dalam pernyataannya, Rabu(1/6).
Dari sisi target market, perseroan semakin memantapkan diri kembali ke bisnis inti yakni menyasar usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Bahkan menyasar segmen yang lebih rendah lagi, yaitu Ultra Mikro (UMi).
Baca juga: Ini Sejumlah Penyebab Perusahaan Startup Mulai Lakukan PHK
Hal ini sejalan dengan strategi go smaller, go shorter, go faster yang tengah dilakukan BRI. Misi menjangkau sektor UMi juga ditopang oleh aksi korporasi perseroan untuk memimpin Holding Ultra Mikro bersama PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) yang telah resmi dibentuk sejak 13 September 2021.
Sunarso membeberkan strategi menjangkau sektor ultra mikro dibayangi risiko operational cost dan operational risk yang tinggi. Maka dari itu, digitalisasi dianggap sebagai Langkah esensial untuk efisiensi proses bisnis yang juga dapat menekan operational cost dan operational risk.
Sejumlah layanan digital yang mumpuni telah lebih dulu disiapkan BRI, beberapa di antaranya ialah digital banking BRImo, aplikasi pengajuan fasilitas dan layanan kredit BRISPOT, laku pandai Agen BRILink, hingga aplikasi BRIAPI yang memungkinkan terintegrasi dengan aplikasi pihak ketiga.
Di sisi lain, kata dia, kelengkapan layanan digital BRI perlu diimbangi dengan kesiapan masyarakat atau nasabah yang lebih melek digital khususnya pada layanan perbankan. Masyarakat juga harus dilakukan edukasi digitalisasi layanan perbankan.
"Oleh karena itu, yang paling pas adalah BRI dengan digitalisasi tidak melakukan lay off, tidak melakukan PHK pegawai tetap BRI yang pekerjaannya tergantikan secara digital. Pegawai tetap tidak di lay off tapi diterjunkan ke masyarakat menjadi penyuluh digital,” ujar Sunarso. Lebih lanjut, Sunarso menceritakan terdapat tiga tugas penyuluh digital.
Pertama, mengajak atau mengajari masyarakat yang belum melek layanan perbankan digital sehingga lebih digital savvy seperti bisa membuka rekening secara digital.
Baca juga: Deretan Start-up yang PHK Karyawannya, dari Fabelio hingga LinkAja
Kedua, mengajari masyarakat untuk melakukan transaksi secara digital. Adapun yang ketiga, yang tak kalah penting, mensosialisasikan dan mengajari masyarakat untuk mengamankan rekeningnya dari kejahatan-kejahatan digital.
“Ini yang harus kami lakukan, bagian daripada journey masyarakat yang harus diikuti dalam rangka menuju masyarakat yang lebih digital dan cashless dalam transaksi,” pungkas Sunarso.
Langkah strategis itu memang perlu dilakukan perseroan, terlebih pihaknya ingin menyasar sumber pertumbuhan baru di masa depan yaitu segmen UMi yang potensinya sangat besar.
Fenomena Lama
External Faculty Member bidang Sustainable Finance Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Rizky Wisnoentoro mengungkapkan, fenomena berkurangnya kantor cabang bank sebetulnya bukan hal baru di dunia.
Di Eropa seperti Belanda misalnya, dalam kurun waktu awal 2000-an sampai sebelum Covid-19, fenomena seperti ini sudah terjadi.
"Memang, salah satu penyebab utamanya ialah peralihan market yang semakin matang menggunakan inovasi teknologi (saat itu bergerak dari industri 3.0 menuju 4.0).
Dengan demikian bagi bank pun dapat membantu mereduksi struktur biaya secara signifikan," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribun.
Karena itu, saat pandemi global semakin menghimpit dalam berbagai keterbatasan, bisa dipahami jika opsi pengurangan kantor semakin menjadi pilihan.
Dari sini, tantangan utamanya ialah bagaimana bank dapat beradaptasi dengan kemunculan obyek-obyek bisnis baru, yang juga memerlukan governance dan risk management baru pula.
"Dari pandemi ini kita belajar, antisipasi daya tahan di jangka panjang harus menjadi prioritas. Dari sisi layanan misalnya, salah satu tantangannya ialah bagaimana membangun trust dan relationship melalui digital, baik secara vertikal (internal bank) maupun horizontal (bank dan nasabah maupun pemangku kepentingan lain)" kata Rizky.
Menurut dia, hal yang biasanya kental dengan interaktivitas manusia, kini mulai berganti dengan medium berbasis komputer.
Menjaga keseimbangan dalam proses transformasi dinilainya akan menjadi kunci utama, apalagi masih terdapat lapisan masyarakat di Indonesia yang belum sepenuhnya mampu menguasai teknologi digital.
"Baik penguasaan secara pengetahuan, ketersediaan jaringan internet, maupun kepemilikan perangkat atau gawai yang perkembangannya semakin pesat," pungkasnya.
Pindah ke Fintech
Pengamat Keuangan Ariston Tjendra menilai penutupan cabang bank secara masif bisa menimbulkan dampak pemutusan hubungan kerja (PHK).
Namun, perusahaan lain di industri jasa keuangan yang sedang menjamur seperti fintech lending atau pinjaman online membutuhkan pekerja, sehingga korban PHK bisa mencari pekerjaan baru di sana.
"Perkembangan teknologi keuangan begitu pesat, banyak perusahaan baru yang berhubungan dengan fintech seperti pinjol, payment, dan lain-lain. Mereka sudah dalam pengawasan OJK, yang bisa menjadi lapangan pekerjaan baru," ujarnya.
Lebih lanjut, Ariston menilai langkah bank menutup kantor cabang wajar saja karena merupakan tuntutan zaman, yang beralih ke sistem digital.
"Dalam artian, digitalisasi telah menjadi bagian dari masyarakat. Tentunya perusahaan yang menyasar masyarakat sebagai konsumen, harus mengikuti penggunaan teknologi digital untuk memberikan atau menjual pelayanan atau produknya ke masyarakat," katanya.
Sementara itu, dia menambahkan, pengawasan terhadap bank digital yang hanya memiliki satu atau dua kantor tetap sama dengan konvensional.
"OJK mengawasi bank digital seperti mengawasi bank umum. Tidak ada bedanya, perlakuannya sama karena bank digital itu adalah bank, hanya saja bank digital lebih menonjolkan sisi digital untuk melayani konsumen," pungkasnya.(Tribun Network/ism/van/wly)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.