Potensi IPO Perusahaan Sawit Semakin Besar Setelah Keran Ekspor CPO Dibuka
Kebijakan pemerintah membuka kembali keran ekspor Crude Palm Oil (CPO) berpotensi membuat perusahaan sawit untuk melakukan IPO
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan pemerintah membuka kembali keran ekspor Crude Palm Oil (CPO) berpotensi membuat perusahaan sawit untuk melakukan penawaran saham umum perdana (IPO).
Hal itu dikatakan Komisaris PT Nusantara Sawit Sejahtera (NSS) Robiyanto di Jakarta, Jumat (17/6/2022).
NSS sebagai perusahaan perkebunan sawit akan menjadikan momentum kenaikan harga CPO untuk melepas saham ke publik di tahun ini.
"Tujuannya adalah meningkatkan kapasitas bisnis dan memastikan tata kelola perusahaan menjadi lebih akuntabel dan transparan karena menjadi milik publik," terang Robiyanto.
Baca juga: Indonesia Perluas Pasar Ekspor CPO dan Minyak Goreng ke Pakistan
Robiyanto mengatakan perusahaan menargetkan perolehan dana sebanyak-banyaknya Rp 900 miliar.
“Dana hasil IPO akan digunakan untuk membiayai kegiatan penanaman baru, baik di lahan inti, maupun meningkatkan kualitas tanaman plasma petani, serta pembangunan pabrik baru,” lanjutnya.
Dalam lima tahun ke depan atau tahun 2027, NSS menargetkan sudah memiliki lahan plasma seluas 9.500 ha, sebanyak 3 PKS dengan kapasitas masing-masing 60 ton per jam.
Pihaknya meyakini upaya perusahaan memenuhi sertifikat penerapan program lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG), yaitu ISPO, juga akan memperkuat kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di NSS.
Baca juga: Luhut Kumpulkan Pengusaha Hingga Asosiasi Minyak Goreng, Singgung Simirah hingga Target Ekspor CPO
Head Of Equity Research PT Ekuator Swarna Sekuritas David Sutyanto menganalisis, selain dukungan dari kenaikan harga minyak sawit mentah, kinerja produsen minyak sawit akan meningkat karena pemerintah telah mengembalikan kebijakan ekspor CPO.
"Kebijakan pemerintah membuka kembali ekspor menjadi potensi besar bagi saham-saham yang mau IPO. Tetapi memang perlu dicermati juga iklim investasinya bagaimana. Tapi kalau emiten sawit sih, saat ini sedang booming, pasti ada saja yang mau beli," ungkapnya.
Sebelumnya, di awal tahun, pemerintah menaikkan batas maksimal ekspor atau domestic market obligation (DMO) dari 20 persen menjadi 30 persen dari total produksi. Saat ini, kebijakan kembali ke DMO 20 persen sejak 23 Mei 2022.
Dia mengatakan, untuk saham emiten sawit yang sudah terlebih dahulu tercatat di Bursa Efek Indonesia hampir semua mencatatkan kenaikan harga.
Dia mencontohkan, sejak awal tahun, harga saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) naik dari 9.000 menjadi 12.000 per saham. Saham PT London Sumatera Tbk (LSIP) menguat dari 1.100 menjadi 1.200 per saham.
Namun, David mengemukakan, kenaikan harga saham emiten sawit memang tidak sebesar kenaikan harga CPO.
Kondisi ini, menurutnya, terjadi karena pasar masih mencermati konsistensi kebijakan pemerintah.
Sejumlah perusahaan sawit juga masih perlu waktu menegosiasikan kontrak baru yang sempat terputus akibat
kebijakan menambah kuota larangan ekspor di awal tahun.
"Potensi kenaikan harga saham emiten sawit besar. Tetapi belum melonjak karena adanya kebijakan tadi. Nanti ada nggak boleh ekspor, ada DMO dan sebagainya. Ini yang membuat harganya melonjak tidak terlalu signfikan," ujar David yang juga Ketua Umum Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI).