Indef: Masalah Minyak Goreng Tidak Bisa Selesai di Kemendag, Perlu Libatkan BUMN
persoalan minyak goreng (migor) tidak akan selesai di Kementerian Perdagangan. Analis sebut BUMN perlu dilibatkan
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Direktur Indonesia for Development of Economics Finance (Indef) Eko Listyanto mengatakan, persoalan minyak goreng (migor) tidak akan selesai di Kementerian Perdagangan.
Menurut Eko, Kementerian BUMN perlu dilibatkan untuk rencana kerja jangka menengah.
"Akan lebih bagus ke depan, kelembagaannya. Ini memang tidak bisa selesai di Kemendag saja, tetapi perlu melibatkan Kementerian BUMN. Kalau barangnya sudah ada di tangan BUMN kan lebih mudah,” kata Eko di Jakarta, Jumat (24/6/2022).
Baca juga: Anggota Komisi VI DPR Minta Mendag Lanjutkan Program Minyak Goreng Curah Rakyat
“Namun, sekarang pekerjaan rumah Pemerintah mencapai harga Rp 14.000 per liter. Kelembagaan bisa menjadi target jangka menengah," tambahnya.
Eko mengatakan sekitar 95 persen produksi minyak goreng di Indonesia dihasilkan oleh perusahaan swasta.
Sehingga, akan sulit bagi Pemerintah mengendalikan harga dan pasokan di dalam negeri, jika tidak membentuk kelembagaan khusus.
Dia mengatakan, BUMN dapat diberikan tugas mencadangkan dan mendistribusikan minyak goreng kualitas minyak curah dari perusahaan swasta.
Baca juga: Ekonom: Perlu Solusi dari BUMN Selesaikan Masalah Minyak Goreng
Termasuk dapat juga ditugaskan mengelola minyak dari domestic market obligation (DMO).
"Siapa yang mengelola DMO ini. Bagus jika bisa diserap BUMN. BUMN nanti mendistribusi minyak untuk rakyat. Mekanismenya, bisa dengan operasi pasar. Jika sekarang ini pakai Aplikasi Si Mirah atau Sistem Informasi Minyak Curah itu tidak diatur kecepatannya, serta seberapa cepat bisa dilakukan distribusinya karena pemegang produknya bukan Pemerintah, tetapi swasta," tambahnya.
Lebih jauh dia mengatakan, mengatur tata niaga khusus dan memproteksi harga minyak goreng kualitas rendah atau curah, tidak akan menggangu pasar ekspor CPO Indonesia.
Alasannya, sejauh ini sekitar 80 persen produk sawit Indonesia dijual ke luar negeri.
DMO sebesar 20 persen, menurutnya, sudah jauh dari cukup untuk kebutuhan di dalam negeri karena pemakaian minyak goreng di industri mikro dan kecil, serta rumah tangga relatif stabil dari tahun ke tahun alias jarang sekali terjadi lonjakan permintaan.
"Kebutuhan CPO di dalam negeri sebenarnya sangat kecil jika dibandingkan dengan total produksi hanya sekitar 10 persen saja. Jadi sebenarnya DMO 20 persen itu sudah cukup untuk kebutuhan domestik. Namun yang perlu diperhatikan adalah kepastian produk terdistribusi di level bawah," jelasnya.
Lebih teknis, Eko Listyanto menilai, Kementerian BUMN dapat memastikan bahwa ke depan strategi bisnis PTPN Group yang memiliki kebun sawit dan pabrik pengolahan minyak sawit mentah Crude Palm Oil (CPO) bisa ikut membantu menstabilkan harga minyak goreng.
"Dari situ, kalau produksinya bisa ditingkatkan bagus. Namun, bagus juga jika PTPN itu menyerap produksinya, seperti yang dilakukan Bulog. Bisa saja DMO itu milik Sinarmas, Wilmar, Asian Agri, Astra Agro Lestari dan perusahaan lain, yang penting mereka mengikuti aturan DMO," tambahnya lagi.