China Galau, Restrukturisasi Utang Sri Lanka Atau Membiarkan Negaranya Makin Bangkrut
China dinilai bingung harus memutuskan apakah akan mengizinkan restrukturisasi utang Sri Lanka
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - China saat ini sedang menghadapi situasi dilematis untuk membantu Sri Lanka keluar dari kebangkrutan ekonomi.
China dinilai bimbang, ketika harus memutuskan apakah akan mengizinkan restrukturisasi utang Sri Lanka. Namun hal itu akan berisiko mengubah praktik pinjaman yang sudah diberikannya ke Sri Lanka atau malah merusak hubungan bilateralnya dengan Sri Lanka.
Dikutip dari Themorning.lk, Kamis (30/6/2022), berbicara dalam webinar yang diadakan oleh Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) pada Selasa lalu, Senior Fellow Universitas Nasional Singapura Dr. Ganeshan Wignaraja mengatakan bahwa China berada dalam dilema untuk menyelamatkan Sri Lanka yang dililit utang.
"Di satu sisi, China tidak ingin kehilangan persahabatannya dengan negara itu (Sri Lanka) atau peluang komersialnya," kata Dr. Wignaraja.
Namun di sisi lain, kata dia, China khawatir bahwa restrukturisasi utang Sri Lanka secara sepihak, atau memberikannya moratorium, akan menciptakan preseden baru dalam kebijakannya.
Baca juga: 1.000 Metrik Ton Beras Hibah China Tiba di Sri Lanka
Ini tentu akan berdampak pada praktik peminjaman untuk negara lain, karena ada banyak negara yang mengantre bantuan dari China terkait proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang 'gagal'.
Baca juga: Sri Lanka Segera Terima Pinjaman Senilai 1 Miliar Dolar AS dari IMF
Perlu diketahui, pada periode 2010 hingga 2020, China telah meminjamkan Sri Lanka lebih dari 5 miliar dolar Amerika Serikat (AS) untuk sederet proyek, termasuk jalan, bandara dan pelabuhan, serta menyumbang sekitar 10 persen dari utang luar negeri Sri Lanka.
Menurut Pusat Studi Strategis dan Internasional, pengeluaran BRI di negara-negara berkembang telah menimbulkan kekhawatiran serius tentang keberlanjutan utang.
Baca juga: Bank Dunia akan Desain Ulang 17 Proyek yang sedang Berjalan di Sri Lanka
Laporan Center for Global Development baru-baru ini menemukan 8 negara penerima BRI yakni Djibouti, Kyrgyzstan, Laos, Maladewa, Mongolia, Montenegro, Pakistan dan Tajikistan berada pada risiko tinggi kesulitan utang karena pinjaman BRI.
Semua negara ini akan menghadapi meningkatnya rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) melampaui 50 persen, dengan setidaknya 40 persen utang luar negeri terutang ke China setelah pinjaman BRI selesai.
Sebelumnya pada Januari lalu, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa meminta China untuk merestrukturisasi utang Sri Lanka.
Pernyataan ini ia sampaikan selama pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi.
Dr. Wignaraja lebih lanjut mengatakan bahwa China sebagai ekonomi G2 dan ingin menantang AS, tidak ingin dilumpuhkan oleh reputasi membantu apa yang disebut 'ekonomi yang gagal'.
Selain itu, ia menambahkan bahwa China kini menjadi lebih sibuk mencari ke dalam, harus menghadapi perlambatan ekonominya sendiri dan meningkatnya kasus virus corona (Covid-19).
"Jadi, satu-satunya solusi untuk krisis Sri Lanka saat ini adalah dengan bail out IMF (International Monetary Fund) dan menerima bantuan dari donor multilateral," pungkas Dr. Wignaraja.