Bakal Kebanjiran Bahan Baku Plastik dari UEA, Pemerintah Diminta Nego Bea Masuk Nol Persen
Karena industri petrokimia merupakan industri strategis dan padat modal, serta banyak sekali industri hilirnya.
Penulis: Sanusi
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Salah satu klausul dari perundingan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Emirat Arab (Indonesia-United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement/IUAE-CEPA) adalah bea masuk bahan baku plastik sampai nol persen.
Dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Mochamad Chalid mengatakan efek buruk dari klausul ini, Indonesia akan kebanjiran bahan baku plastik dari Uni Emirat Arab (UEA) dan yang lebih parah lagi akan berimbas terhadap ekonomi nasional.
Karena industri petrokimia merupakan industri strategis dan padat modal, serta banyak sekali industri hilirnya.
Baca juga: Pemerintah India Larang Penggunaan 19 Produk Plastik Sekali Pakai
“Sebaiknya pemerintah bisa menegosiasikan klausul ini, atau lebih baik dihilangkan saja. Pasalnya ini akan berimbas terhadap keberlangsungan ekonomi nasional.
Karena sudah bisa dipastikan industri petrokimia kita akan sulit bersaing dengan negara lain dan akan merusak kepercayaan investor yang sudah menanamkan investasinya cukup besar di tanah air,” ungkap Mochamad Chalid.
Lebih lanjut dia mengatakan potensi plastik di indonesia sangat besar, untuk itu pemerintah wajib melindungi industri petrokimia lokal.
Baca juga: Aksi Ramah Lingkungan di RS, Plastik Obat Diganti Goodie Bag dan Dokter Bawa Tumbler Sendiri
Karena plastik memang tak lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Plastik digunakan industri dan juga untuk pengemasan primer, sekunder, dan tersier.
“Konsumsi plastik per kapita Indonesia terbilang rendah dibandingkan negara lain yaitu hanya sekitar 22,5 persen. Korea 143 per kapita, Jerman 97,2, Eropa barat 88. Bahkan bila dibandingkan dengan negara di Asia tenggara Indonesia masih rendah. Thailand 69 per kapita dan Vietnam 43,3,” paparnya.
Ahli teknologi polimer Fakultas Teknik UI ini juga mengatakan Industri petrokimia merupakan industri strategis di tingkat hulu yang menjadi modal dasar dan prasyarat utama untuk mengembangkan industri di tingkat hilir seperti plastik, serat kain, tekstil, kemasan, elektronika, otomotif, obat-obatan dan industri-industri penting lainnya.
Berhasil tidaknya pembangunan industri nasional salah satunya sangat dipengaruhi oleh industri petrokimia.
Di sisi lain, dia mengungkapkan, industri kimia memiliki ciri khas dengan padat modal dan nilai investasi sangat besar, kebutuhan bahan baku yang spesifik, risiko tinggi pada sisi keselamatan, serta persaingan yang sangat ketat dari sisi bisnis.
Baca juga: Kemenperin Sebut Konsumsi Plastik Indonesia Masih Rendah Dibandingkan Negara di Asia Tenggara
Sebelumnya Pemerintah menargetkan industri petrokimia di Indonesia untuk mampu menjadi nomor satu di ASEAN.
Karenanya, kami terus mendorong investasi di industri kimia, khususnya untuk memperkuat komoditas pada sektor kimia hulu dan mampu menyubstitusi produk petrokimia yang masih banyak diimpor seperti Etilena, Propilena, BTX, Polietilena (PE), dan Polipropilena (PP).
Kapasitas industri nasional untuk produk-produk tersebut mencapai 7,1 juta ton per tahun. Namun, impor produk kimia juga masih sangat signifikan, yaitu mencapai 4,6 juta ton pada tahun 2020. Hal ini mengindikasikan perlunya upaya peningkatan kapasitas produksi untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.