Ekonom INDEF Ingatkan Risiko Inflasi yang Bakal Dihadapi Indonesia
Perlu ada langkah konkret Pemerintah kepada masyarakat agar masyarakat dapat mempersiapkan diri menghadapi risiko lonjakan inflasi yang terjadi.
Editor: Choirul Arifin
"Ini menunjukkan kita masih punya banyak pekerjaan rumah, kalau APBN kita tidak fleksibel," tutur Aviliani.
Baca juga: Thailand Juga Dilanda Lonjakan Inflasi, Tertinggi Sejak 14 Tahun Terakhir
Menurut dia, penurunan penggunaan APBN akibat perubahan kondisi dari pandemi menjadi pascapandemi.Anggaran yang tadinya digunakan untuk membeli vaksin sehingga butuh waktu untuk mengalokasikan anggaran ke yang lainnya.
"Ini menjadi catatan bagi pemerintah karena masih panjang ketidakpastian kita perlu diskresi untuk memindahkan anggaran sehingga bisa menyesuaikan kebutuhan masyarakat dalam jangka pendek," imbuhnya.
Ketika kondisi tersebut mulai membaik, kata Aviliani, justru dunia dihadapi dengan supply shock di mana antar negara terjadi ubahan saat mendeliver barang ditambah lagi adanya perang Rusia dan Ukraina.
Tidak Tepat Sasaran
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam kesempatan yang sama, mengatakan subsidi pemerintah terhadap energi BBM sudah terlampau tinggi.
Dia mengatakan akan sangat berbahaya apabila nantinya minyak dunia tembus 200 dolar AS per barel.
"Kalau kita tidak segera melepas ini maka akan berbahaya sekali," tegasnya.
Menurutnya, sangat banyak nominal subsidi pemerintah yang dikeluarkan tetapi tidak tepat sasaran. Bahlil menerangkan pendapatan negara tahun lalu tercatat tidak lebih dari Rp2.000 triliun.
Apabila tahun ini belanja APBN mencapai sebesar Rp2.700 sisanya dipakai untuk pembiayaan defisit atau utang.
"Jadi sekarang bayangkan dari total APBN kita itu 1/4-nya subsidi, kalau tidak ini berbahaya sekali," terangnya. (Tribun Network/nas/yat)