Inflasi AS Tembus 9,1 Persen, Analis: Bisa Menekan Rupiah
Analis Pasar Uang Ariston Tjendra menilai rekor baru inflasi Amerika Serikat (AS) di level 9,1 membuat mata uang rupiah semakin tertekan.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis Pasar Uang Ariston Tjendra menilai rekor baru inflasi Amerika Serikat (AS) di level 9,1 persen membuat mata uang rupiah semakin tertekan.
Menurutnya, inflasi tinggi dapat menurunkan daya beli masyarakat dan menekan pertumbuhan ekonomi.
“Kenaikan inflasi terjadi akibat gejolak harga pangan sehingga menjadi kekhawatiran tersendiri yang bisa menekan rupiah,” tuturnya dihubungi, Kamis (14/7/2022).
Ariston mengatakan rupiah juga dikhawatirkan terkena dampak inflasi tinggi pada Juli ini, utamanya dari sisi inflasi volatile food.
Baca juga: Analis: Rupiah Digital Bisa untuk Mitigasi Risiko Aset Kripto Terhadap Ketahanan Ekonomi
Ia berujar bahwa data inflasi konsumen AS yang dirilis bulan Juni lebih tinggi dari bulan sebelumnya 8,6 persen (Mei 2022).
“Ini memvalidasi kebijakan bank sentral AS untuk lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuannya karena inflasi AS masih dalam tren naik," kata Ariston.
Rupiah pagi ini dibuka melemah seiring ekspektasi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS The Federal Reserve (Fed) hingga 100 basis poin (bps).
Mata uang garuda bergerak melemah tipis lima poin atau 0,03 persen ke posisi Rp 14.997 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp 14.992 per dolar AS.
Ariston memperkirakan rupiah sepanjang hari ini berada di kisaran Rp 14.980 per dolar AS hingga Rp 15.030 per dolar AS.
Baca juga: Rabu Sore Rupiah Menguat Terhadap Dolar AS, Kini di Level Rp 14.985
Ditutup Melemah
Indeks utama bursa Amerika Serikat atau Wall Street kembali ditutup melemah pada sesi perdagangan Rabu (13/7/2022), pasca pengumuman inflasi Juni AS, yang realisasinya lebih tinggi dari perkiraan pasar.
Mengacu kepada data RTI, indeks Dow Jones Industrial Average ditutup, indeks S&P 500 melemah 17,02 poin atau 0,45 persen, dan indeks Nasdaq Composite koreksi 17,15 poin atau 0,15 persen.
Tercatat, dari 11 sektor utama pada indeks S&P 500, 9 sektor di antaranya melemah, dengan sektor industri dan layanan komunikasi mengalami penurunan persentase terbesar.
Penurunan tersebut tidak terlepas dari indeks harga konsumen (IHK) AS yang mencatatkan inflasi sebesar 9,1 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada Juni kemarin.
Inflasi AS tersebut menjadi yang tertinggi dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Selain itu, realisasi itu juga lebih tinggi dari perkiraan pasar di angka 8,8 persen.
Selain itu, IHK inti Negeri Paman Sam pada Juni kemarin mencatatkan inflasi sebesar 5,9 persen. Ini juga lebih tinggi dari perkiraan pasar di angka 5,6 persen.
Realisasi inflasi inti yang lebih tinggi dari perkiraan pasar membuat investor khawatir terhadap kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserve. Pasalnya, tingginya inflasi inti berpotensi membuat The Fed mengeluarkan kebijakan moneter yang lebih agresif.
Dilansir dari CNBC, Kamis (14/7/2022), pengumuman IHK juga membuat imbal hasil treasury AS tenor 2 tahun naik sembilan basis poin menjadi sekitar 3,138 persen. Sementara imbal hasil pada treasury tenor 10 tahun turun sekitar 4 basis poin menjadi 2,919.
Baca juga: Rupiah Pagi Terpantau Menguat Tipis ke Level Rp14.975
Ketika terjadi kurva imbal hasil inverting, yaitu ketika imbal hasil tenor lebih pendek lebih tinggi dari imbal hasil surat utang yang lebih panjang, maka itu tanda-tanda AS mengalami resesi semakin nyata.
Meskipun demikian, investor masih menanti pengumuman data pengangguran dan indeks harga produksi, untuk melihat lebih jelas kondisi perekonomian AS saat ini.(Kompas.com)