Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pengamat: Perekonomian Global Sedang Melambat, Ekspektasi Inflasi Bersifat Jangka Pendek

Kekhawatiran tentang inflasi yang terus-menerus di atas target membuat bank sentral di sebagian besar negara memperketat kebijakan moneter.  

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Pengamat: Perekonomian Global Sedang Melambat, Ekspektasi Inflasi Bersifat Jangka Pendek
FORBES
Gedung Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, di Washington DC. Data inflasi Amerika Serikat (AS) per Juni 2022 melonjak menjadi 9,1 persen memicu kekhawatiran terjadinya resesi di AS. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi Rahma Gafmi melihat perekonomian global berada di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi, namun dia menilai ekspektasi laju inflasi yang tinggi hanya terjadi dalam jangka pendek.

Mengacu data inflasi Amerika Serikat (AS) per Juni 2022 yang melonjak menjadi 9,1 persen.

"Saat ini perekonomian global berada di tengah perlambatan pertumbuhan yang sangat tajam disertai dengan inflasi yang tinggi selama beberapa dekade," ujar Rahma saat dihubungi, Kamis (14/7/2022).

Prakiraan inflasi global untuk 2022-2023, ucap Rahma, dinaikkan secara tajam, sedangkan prakiraan pertumbuhan ekonomi global diturunkan selama setahun terakhir.  

"Kombinasi inflasi yang tinggi dan pertumbuhan yang melambat ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan periode stagflasi yang berkepanjangan yang menyerupai tahun 1970-an," kata Rahma.

Beberapa pihak berpendapat bank sentral perlu untuk meningkatkan suku bunga kebijakannya untuk mengatasi inflasi.

Berita Rekomendasi

Preseden historis ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang risiko krisis utang di pasar dan ekonomi negara berkembang  (EMDEs).

Baca juga: Inflasi AS Tembus 9,1 Persen, Berikut Dampaknya Terhadap Indonesia

Hal tersebut mengingatkan pada kejadian di awal 1980-an saat bank sentra menaikkan suku bunga secara besar-besaran untuk menurunkan inflasi.

"Yang perlu kita segera antisipasi bahwa kredit macet adalah bom waktu yang harus kita waspadai," tutur Rahma.

Dalam beberapa hal, inflasi yang terjadi sekarang ini sebanding dengan inflasi awal 1980-an. Ke depan, inflasi global diperkirakan akan mencapai puncaknya tahun ini dan turun menjadi sekitar 3 persen pada pertengahan tahun 2023.

Baca juga: Inflasi Amerika Tembus 9,1 Persen, Saham di Wall Street Langsung Ambles, Harga Pangan Naik

"Seiring dengan melambatnya pertumbuhan global, pengetatan kebijakan moneter, penarikan dukungan fiskal, penurunan harga komoditas, dan mulai berkurangnya masalah suplai," ucap Rahma.

Untuk saat ini, ucap Rahma, perkiraan secara konsensus menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi tetap bertengger dengan baik dalam jangka menengah, bahkan kenaikan inflasi ini diperkirakan hanya dalam jangka pendek.

Baca juga: Inflasi di Turki Tembus 78,6 Persen, Picu Lonjakan Harga Domba, Warga Terancam Tak Bisa Kurban

"Namun, ada risiko bahwa ekspektasi inflasi pada akhirnya akan menurun, seperti yang terjadi pada tahun 1970-an, sebagai akibat dari inflasi yang terus-menerus di atas target dan terjadi syok inflasi," ujar Rahma

Kekhawatiran tentang inflasi yang terus-menerus di atas target membuat bank sentral di sebagian besar negara maju dan negara berkembang untuk memperketat kebijakan moneter.  

Pasar keuangan  mengharapkan ada peningkatan 200-400 basis poin dalam suku bunga kebijakan moneter oleh Fed, ECB, dan BoE selama 2022-23 yaitu untuk mengembalikan inflasi ke kisaran target semula pada negara maju dan berkembang.

"Siklus pengetatan seperti ini akan moderat menurut standar historis," ucap Rahma.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas