Program Food Estate Hadapi Kendala Lemahnya Koordinasi Antar Instansi Pemerintah
Program Food Estate menghadapi kendala koordinasi di level pemerintahan yang masih perlu ditingkatkan.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribun Network, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Program Food Estate diklaim bisa mengatasi ancaman krisis pangan di Indonesia karena teknologi pertanian dan sumber daya manusia (SDM) dinilai memadai. Namun, program ini menghadapi kendala koordinasi di level pemerintahan yang masih perlu ditingkatkan.
"Masalah pengembangan Food Estate kita adalah perlu memaksimalkan koordinasi lintas lembaga pemerintah dan memerlukan kesatuan komando yang kuat," kata Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan kepada Masyarakat (LPPM) IPB University Ernan Rustiadi saat dihubungi wartawan, Jumat(15/7/2022).
Food Estate, termasuk di dalamnya upaya perluasan lahan pertanian, merupakan salah satu program strategis pemerintah dalam pembangunan pertanian nasional 2021.
Program ini melibatkan Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Program ini menargetkan pemenuhan ketahanan pangan dalam negeri melalui ekstensifikasi lahan di luar Pulau Jawa.
Ernan mengatakan, kemampuan Indonesia dari sisi teknologi dan SDM di bidang pertanian sudah cukup mendukung untuk bisa mewujudkan program pemerintah tersebut.
Baca juga: Antisipasi Krisis Pangan, Sekolah Khusus Food Estate Disarankan Segera Dibentuk
"Sebenarnya SDM dan teknologi kita sudah baik. Apalagi kita tidak termasuk negara miskin. Tapi kalau koordinasi tidak ada, ya (Food Estate) akan terkendala ya," ujarnya.
Menurutnya, ekstensifikasi sektor pertanian tidak bisa dilepas begitu saja mengikuti mekanisme pasar layaknya perkebunan sawit.
Terutama untuk penyediaan infrastruktur dasar, seperti sarana pengairan lahan dan infrastruktur pendukung transportasi. "Harus ada campur tangan pemerintah," katanya.
Baca juga: Irigasi Bantu Petani Kembangkan Program Food Estate di Belu NTT
Terkait lahan pertanian, Ernan menjelaskan ada tiga jenis lahan marjinal di Indonesia untuk bisa dikembangkan menjadi lahan pertanian, yaitu lahan rawa dan gambut, tanah sulfat masam, serta tanah masam.
"Teknologi saat ini sebenarnya sudah mampu mengatasi keterbatasan yang ada di lahan-lahan sulfat masam itu. Salah satu yang menonjol terjadi pada keberhasilan perkebunan sawit," kata dia.
"Lahan-lahan sulfat masam sebenarnya bisa juga ditanami padi, tapi harus dengan sangat hati-hati," ujar Ernan saat itu.
Guru Besar IPB University Edi Santosa mengatakan, SDM Indonesia sudah banyak mengembangkan varietas pangan seperti padi dan sorgum yang bisa menunjang keberhasilan program Food Estate.
Baca juga: Akademisi IPB: Fakta Food Estate Kalimantan Tengah Berhasil Berproduksi
"Kami sudah mengembangkan beberapa varietas padi baru untuk di Food Estate," kata Edi saat dihubungi secara terpisah.
Berdasarkan data yang dibagikan Ernan, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 320 juta pada tahun 2045.
Dengan asumsi konsumsi 110 kilogram (kg) beras per kapita, maka pada tahun tersebut akan membutuhkan beras sebanyak 35,2 juta ton atau 64 juta ton gabah kering panen (GKP).
"Jika produktivitas 6 ton GKP/hektare, maka perlu lahan luas panen 11 juta hektare. Dengan Indeks Pertanaman 150, maka membutuhkan lahan baku 7,1 juta hektare," paparnya.
Saat ini lahan baku sawah mencapai 7,4 juta hektare. Itu hasil audit Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada 2019. Di lahan sawah seluas itu berebut belasan komoditas pangan, termasuk padi.