Pajak Karbon Perlu Dikalkulasi Matang Supaya Tidak Berdampak Negatif ke Inflasi
CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani mengatakan perlunya perencanaan matang terkait penerapan pajak karbon kepada sektor yang menghasilkan emisi
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani mengatakan perlunya perencanaan matang terkait penerapan pajak karbon kepada sektor yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Menurutnya, ada dampak negatif yang kemungkinan terjadi seperti kenaikan harga energi yaitu BBM dan listrik dengan kenaikan ongkos produksi.
“Penerapan pajak karbon harus dilakukan dengan perencanaan dan kalkulasi yang matang sehingga dapat meminimalisir dampak negatif seperti inflasi,” katanya dalam keterangan, Jumat (22/7/2022).
Baca juga: Bursa Saham Asia-Pasifik Mayoritas Turun Menyusul Rilisnya Data Inflasi Jepang
Johanna menambahkan edukasi terkait pentingnya pajak karbon juga perlu diberikan secara berkelanjutan oleh pemerintah, terutama terkait risiko perubahan iklim terhadap masyarakat.
“Sehingga nantinya ketika pemerintah menerapkan pajak karbon secara penuh, masyarakat dapat menerima dengan baik,” tutur dia.
Baca juga: Bank Indonesia Prediksi Inflasi 2022 Tembus 4,5 Persen, Ini Penyebabnya
Lebih jauh pihaknya mengapresiasi langkah awal pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan pertumbuhan ekonomi hijau.
Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan atas penggunaan bahan bakar fosil seperti bensin, avtur, gas, dan lain - lain.
Pajak karbon bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca sebagai langkah memerangi pemanasan global.
Baca juga: Sindir PLN dan Pertamina, Sri Mulyani Bilang Indonesia Butuh Rp 3.500 T untuk Kurangi Emisi Karbon
Menerapkan pajak karbon di Indonesia dapat membantu mengurangi pemanasan global dan mengendalikan perubahan iklim, serta meningkatkan pendapatan pajak dan efisiensi energi bagi konsumen dan bisnis.
Pajak karbon sedang diperkenalkan di Indonesia sesuai dengan Undang - Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disahkan DPR sejak 7 Oktober 2021.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa dalam penerapan pajak tersebut, pemerintah akan memfokuskan PLTU berbasis batu bara untuk tahap pertama.
“Dana yang terkumpul dari pajak karbon akan digunakan untuk menambah dana pembangunan, mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, serta program bantuan sosial untuk masyarakat berpenghasilan rendah,” tukasnya.