Kebijakan Batasan Produksi Rokok Ideal Bisa Optimalkan Penerimaan Negara
Struktur tarif CHT saat ini dinilai memiliki celah yang bisa dimanfaatkan untuk pabrikan besar maupun asing agar membayar tarif lebih murah.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menetapkan batasan produksi baru dalam Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM) disebut sebagai langkah tepat untuk bisa mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus melindungi pabrikan kecil.
Namun, kebijakan sejenis semestinya bisa berlaku bagi rokok biasa, khususnya agar peran cukai hasil tembakau (CHT) sebagai instrumen ideal supaya pengendalian konsumsi bisa tercapai.
Sebab, struktur tarif CHT saat ini dinilai memiliki celah yang bisa dimanfaatkan untuk pabrikan besar maupun asing agar membayar tarif lebih murah.
Baca juga: Rokok Elektrik Kerap Diterpa Isu Miring, RELX Pastikan Telah Lalui Uji Penelitian dan Sains
“Ini membuat penerimaan negara kurang optimal dan konsumsi rokok sulit terkendali karena banyaknya rokok murah.
Padahal Indonesia sedang membutuhkan biaya yang besar untuk pemulihan ekonomi dan berjuang mengendalikan konsumsi,” ujar Ahli Kebijakan dan Keuangan Publik Deddi Nordiawan, ditulis Senin (1/8/2022).
Deddi mengatakan, optimalisasi kebijakan cukai semestinya tidak hanya sebatas tarif dan harga, melainkan keseluruhan struktur cukai itu.
Kendati demikian, menurutnya pemerintah telah mampu menetapkan perbedaan pabrikan besar dengan pabrikan kecil dalam produksi KLM secara jelas.
Apalagi, pemerintah juga berani menetapkan batasan produksi kelompok cukai KLM tertinggi hanya 4 juta batang per tahun.
“Ini merupakan kebijakan realistis untuk pabrikan kecil KLM. Hal sama seharusnya dapat diterapkan di kebijakan cukai rokok biasa,” katanya.
Lebih lanjut, Deddi menambahkan, kebijakan batasan produksi untuk rokok biasa cukup kontras dibanding dengan rokok KLM.
“Batasan produksi tertinggi pada rokok hingga mencapai 3 miliar batang, masih mudah untuk dimanfaatkan oleh perusahaan besar membayar cukai lebih murah, dengan cara beralih ke golongan 2 yang selisih cukainya sangat lebar,” tutur dia.
Baca juga: Naiknya Tarif Cukai Rokok Dinilai Akan Buat Produksi Petani Tembakau Menurun
Inilah yang dinilainya memicu perusahaan-perusahaan besar dan asing dapat menikmati tarif cukai murah, asalkan produktivitas kurang dari 3 miliar batang per tahun.
“Tidak heran jika produksi rokok di golongan 2 meningkat. Batasan produksi yang realistis untuk diterapkan kini adalah mengacu pada kebijakan yang berlaku pada sebelum 2017, yakni batasan produksi tertinggi untuk rokok biasa sebesar 2 miliar batang per tahun," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan menerbitkan peraturan Nomor 109 Tahun 2022 yang membagi cukai KLM menjadi dua kelompok tarif, dengan tujuan untuk melindungi pabrikan rumahan.
Adapun pabrikan Kelompok 1 yang memproduksi lebih dari 4 juta batang dipungut cukai dan harga jual eceran lebih tinggi.
Sementara itu, Pabrikan Kelompok II yang memproduksi jumlah KLM di bawah 4 juta batang diberikan tarif cukai dan HJE lebih rendah.