Program Peremajaan Sawit Rakyat Tak Optimal, Apkasindo Keluhkan Sulitnya Legalitas Lahan
Apkasindo mengeluhkan banyaknya kendala dalam pengembangan Program Peremajaan Sawit Rakyat, satu diantaranya adalah dalam mendapatkan legalitas lahan.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengeluhkan banyaknya kendala dalam pengembangan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Satu diantaranya adalah dalam mendapatkan legalitas lahan.
PSR merupakan program pemerintah Indonesia untuk memajukan produksi kelapa sawit.
Sekjen Apkasindo Rino Afrino di acara Kompas Talks bertajuk ‘Permasalahan Lahan dan Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit’, Kamis (1/9/2022) mengatakan aspek legalitas lahan menjadi satu dari sekian faktor yang mempengaruhi sulitnya program ini dinikmati petani sawit.
“Salah satu hasil kajian di lapangan mengatakan bahwa ternyata aspek legalitas lahan menjadi nomor satu,” ucap Rino.
Ia menjelaskan, jika dilihat dari Surat Keputusan (SK) Kehutanan atau peta yang dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), banyak petani sawit yang lahannya masuk ke dalam kawasan hutan.
Padahal, para petani sawit sudah menempati lahan tersebut sejak 30 tahun silam. Tak hanya itu, sejumlah fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) pun telah dibangun di wilayah tersebut.
“Walaupun mereka sudah berdiam di situ beranak-pinak menjadi fasum fasos, tetapi dalam peta kehutanan, mereka banyak masuk di dalam kawasan hutan,” katanya.
Baca juga: Baru 37 Persen Lahan Sawit Bersertifikat di 2021, Apa Saja Kendalanya?
Petani sawit di sana, kata dia, bukan merambah hutan. Melainkan memang sudah tinggal di sana sejak lama. Namun, lanjut dia, administrasi pemerintahan belum bisa mengikuti perkembangan dari masyarakat yang menempati lahan-lahan tersebut.
“Ini bukan suatu kesengajaan, tetapi ini memang proses yang berjalan apa adanya.”
Ditambahkannya, kasus lain menyebutkan bahwa para petani yang sudah punya sertifikat hak milik (SHM), ternyata lahannya masuk ke dalam kawasan hutan. Padahal, para petani sawit itu sudah menduduki wilayah tersebut sejak tahun 1986.
Menurut Rino, hal itu menjadi dilema bagi para petani sawit. “Sertifikatnya menjadi tidak laku di bank. Yang kedua mereka tidak bisa ikut peremajaan sawit.”
“Jadi mereka tidak bisa terima dana dari pemerintah dan mereka otomatis tidak bisa juga Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO),” ujarnya.
Baca juga: Mulai Tanam Kelapa Sawit di Enrekang, PTPN Group Targetkan Bangun Pabrik PKS Tahun Depan
Beberapa kasus juga menyebutkan penduduk yang sudah tinggal sejak lama ternyata tercatat di areal hutan produksi konversi (HPK), bahkan pula di kawasan hutan lindung.
“Padahal mereka sudsh tinggal di situ sudah benarak pinak sudah familiar di situ, fasum, fasos, tetapi secara peta itu dinytakan mereka di dalam kawasan hutan. Ini juga menjadi momok.”
Lebih lanjut Rino menjelaskan realisasi program PSR periode 2017-2022 sudah mencapai 112.804 hektare lahan. Namun di tengah periode tersebut, angkanya justru menurun pada 2021.
Baca juga: Riset CDP: Hanya 22 Persen Perusahaan Sawit Terapkan Kebijakan Tanpa Deforestasi
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) telah menyalurkan dana sebesar Rp6,87 triliun sepanjang periode tersebut. Menurut dia, angka itu sudah cukup besar untuk mendorong program PSR.
“Kenapa dia akhirnya menurun?” ujarnya. “Jadi memang tantangannya di sini dilihat terkait dengan bebas kawasan hutan.”
Rino mengatakan, Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) telah menjelaskan secara singkat bagwa pemerintah telah mengatur terkait penyelesaian lahan dalam kawasan hutan.
Singkatnya, sambung dia, masyarakat diberikan keringanan dari sanksi atau denda dengan syarat lahan yang dimiliki seluas 5 hektare dengan pengusaan selama 5 tahun.
Rino menyebut masih ada sejumlah persyaratan teknis yang mesti ditempuh para petani sawit.
Di antaranya ada tahap verifikasi teknis yang nantinya bakal menentukan apakah lahan milik petani tersebut masuk ke dalam kawasan perhutnan sosial, TORA, atau perubahan peruntukan dan penggunaan kawsan hutan.
“Jadi memang tidak mudah, teman-teman yang masuk ke dalam kawasan hutan ini harus melalui verifikasi teknis yang memang cukup jelimet,” ujarnya.
“Ada timnya beranggotakan 11 orang, ada Kepala BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan), ada dinas ada dari perwakilan BPN (Badan Pertanahan Nasional), ada Camat, ada Lurah, semuanya harus menginfor, harus membuat berita acara, harus rekom ke pusat lagi, menko lagi,” tutur Rino.