BPH Migas Sebut Penyaluran BBM Subsidi Tepat Sasaran Butuh Regulasi yang Rinci
Draf revisi revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 dikabarkan berada di meja Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk ditandatanganinya.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diharapkan segera menyelesaikan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM), sebagai payung hukum dalam mengimplementasikan pembatasan BBM subsidi.
Menurut informasi yang berkembang, draf revisi saat ini berada di meja Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk ditandatanganinya.
Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman menjelaskan, regulasi yang rinci sangat dibutuhkan operator seperti Pertamina dalam penyaluran BBM subsidi dapat tepat sasaran.
Baca juga: Kata Jokowi soal Kepastian Kenaikan Harga BBM, Hari Ini Terima Hitungan Kalkulasi
Sebagai contoh, BBM jenis Solar. Sekarang kendaraan berplat kuning roda 6, dan lainnya pada prakteknya membawa barang mahal, namun masih memakai BBM subsidi.
“Ke depan kita usulkan mobil sembako yang boleh isi solar subsidi,” kata Saleh dalam diskusi daring bertajuk ‘Subsidi Energi BBM untuk Siapa?: Review Nota Keuangan 2023 & Catatan Kritis’ yang digelar Transisi Energi Indonesia (TEI), yang dikutip Kontan, Jumat (2/9/2022).
Saleh menjelaskan, jika melihat sejarah dan semua pihak ingin mewujudkan program ini melalui digitalisasi nozzle di SPBU maka Pertamina paling komprehensif meminimalisir yang berhak atas subsidi.
Ia pun berharap dengan digitalisasi tertutup melalui MyPertamina maka registrasi akan bisa dioptimumkan.
“Kita realistis dengan waktu yang terbatas yang mensyaratkan perlu usaha massif dan dukungan teman-media untuk mengoptimalkan konsumen pada hal-hal produktif. Kita berupaya mengoptimalkan kuota dan penyalurannya sehingga tidak ada kelangkaan,” papar Saleh.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Hery Susanto melihat pemerintah concern kepada peningkatan harga BBM, kemudian bagaimana pemerintah mengantisipasinya dengan mengalokasikan melalui program bantuan sosial (bansos) sebagai opsi membantu masyarakat.
Menurut Hery, soal bansos yang disiapkan pemerintah ini mestinya sudah suatu keharusan. Bukan artinya opsi melakukan bansos langsung pada subsidi energi melalui orang.
“Ini program mengantisipasi it’s OK, namun dalam konteks subsidi energi ya tidak salah. Subsidi energi ini bisa lewat BBM nya langsung. Kalau mengalihkan subsidi energi kepada orang itu masih diatur subsidi kepada barang. Langkah yang bijak saat ini jangan menaikkan harga tapi pada pembatasan,” katanya.
Baca juga: Isu Kenaikan Harga BBM: Pertamax Turbo Cs Turun, Pendaftar MyPertamina Tembus 1 Juta
Hery bilang, di Perpres 19 tahun 2014 disebutkan jenis kendaraan, misal angkutan barang sudah disebutkan.
Untuk Pertalite penekanan pada sepeda motor dan angkutan umum. Mobil pribadi dugaannya, tidak dimasukan dalam revisi Perpres. Sehingga kalau sudah diatur dengan ketat, mesti tegas sanksinya.
“Opsi menaikkan harga BBM bukan satu-satunya, yang penting adalah pembatasan. Tinggal implementasinya. Ini bisa bobol karena pembatasannya masih loss,” ujarnya.
Adapun peneliti senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng berpendapat rencana pemerintah menaikkan harga BBM angkanya mesti disebutkan dengan jelas oleh Menteri Keuangan.
“Bu Sri Mulyani harus menyebutkan angkanya dengan jelas untuk kompensasi atau subsidi langsung, jangan seperti angin, angkanya tidak berani sebut. Kalau merujuk UU No 2 Tahun 2020 tentang Pemulihan Krisis, maka keputusan keuangan ada di Menteri Keuangan. Maka Bu Sri Mulyani harus umumkan angkanya secara pasti,” tutur Daeng. (Tendi Mahadi/Kontan)