Kenaikan Tarif Tidak Bikin Driver Ojol Untung, Pengamat: Percuma Kalau Tidak Dibatasi Kuota
Menurut dia, kenaikan tarif ojol harus diiringi dengan pembatasan jumlah kuota driver dari ojol itu sendiri.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang mengatakan kenaikan tarif ojek online (ojol) tidak serta merta membuat para pengemudi atau drivernya menjadi sejahtera.
Menurut dia, kenaikan tarif ojol harus diiringi dengan pembatasan jumlah kuota driver dari ojol itu sendiri.
“Jadi menurut saya ini harus tegas. Kalau sampai kapanpun tarif itu naik kalau tidak ada pembatasan kuota ojol itu percuma,” kata Deddy Herlambang dalam Rilis Survei Nasional Polling Institute secara virtual, Minggu (11/9/2022).
Ia menjelaskan bahwa jika kuota jumlah driver ojol lebih banyak dibandingkan dengan pengguna, maka para driver tersebut harus bersaing satu sama lain.
Belum lagi, sambung dia, dengan semakin banyaknya penyedia jasa ojek online, akan mempersengit persaingan layanan transportasi online tersebut.
Baca juga: Dampak Naiknya Tarif Ojol Menurut Ekonom: Lonjakkan Inflasi hingga Potensi Meningkatnya Kemiskinan
Di sisi lain, Deddy pun mengimentari pembatasan kuota ojol ini. Menurut dia, pihak aplikator tidak terbuka terkait dengan data pengguna dengan jumlah kuota ojol.
“Bagaimana mau membatasi kalau aplikator itu sendiri boleh kita katakan pelit atau tidak memberikand data-data itu,” ujarnya.
Padalah, Deddy beranggapan dengan keterbukaan data, maka semua pihak dan pemerintah dapat mengukur wilayah mana saja yang membutuhkan jasa ojol tertinggi dan terendah.
Sehingga, kebutuhan akan fasilitas layanan transportasi online ini bisa disesuaikan dengan permintaan pasar.
“Kalau demand kita bisa ukur dengan turun di stasiun, di halte. Tapai kalau yang untuk suplai itu suplai ojolnya itu kita tidak bisa ukur,” ucap Deddy.
“Ada yang ngomong di Jakarta 100 juta ada yang ngomong 800 (ribu) ada yang ngomong 2 juta,” lanjutnya.
Praktisi transportasi ini menilai dengan keterbukaan data juga bisa membantu pemerintah menerbitkan regulasi yang sesuai baik bagi pengguna maupun penyedia jasa angkutan online.
Pasalnya, perihal regulasi ojol, kata Deddy, saat ini masih terjadi simpang siur apakah di Kementerian Perhubungan (Kemenhub) atau di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
“Karena provider ojol itu kan bukan perusahan transport. Tidak ada regulasi di dalam hukumnya mereka itu dengan Kemenhub,” kata Deddy.
“Justru ada hukum regulasi langsung itu dari Kementerian Komunikasi dan Informatika karena itu yang memberikan izin itu mereka,” tuturnya menambahkan.