Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Elemen Penting Capai Net Zero Emissions, Panas Bumi Harus Dikembangkan Secara Optimal

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, mengungkapkan panas bumi merupakan elemen penting yang dimiliki Indonesia untuk mencapai NZE

Penulis: Sanusi
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Elemen Penting Capai Net Zero Emissions, Panas Bumi Harus Dikembangkan Secara Optimal
TRIBUN/HO
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Salak. Indonesia dikaruniai berbagai macam potensi sumber daya alam termasuk energi baru terbarukan (EBT) sehingga sangat memungkinkan untuk bisa mencapai Net Zero Emissions (NZE) atau netralitas karbon. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia dikaruniai berbagai macam potensi sumber daya alam termasuk energi baru terbarukan (EBT) sehingga sangat memungkinkan untuk bisa mencapai Net Zero Emissions (NZE) atau netralitas karbon.

Dari ragam variasi potensi EBT, sangat wajar bila panas bumi mendapatkan prioritas pengembangan dari pemerintah.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa, mengungkapkan panas bumi merupakan elemen penting yang dimiliki Indonesia untuk mencapai NZE. "Dalam rangka mencapai NZE, seluruh potensi energi terbarukan, termasuk panas bumi harus dikembangkan dengan optimal," katanya, belum lama berselang.

Baca juga: ESDM: Inovasi Jadi Kunci Percepat Transisi Energi ke EBT

Menurut dia, sangat wajar pemerintah memberi perhatian serius untuk pengembangan panas bumi karena berbagai alasan. Apalagi pemerintah memiliki peta jalan (roadmap) pengembangan panas bumi hingga mencapai kapasitas 7 Gigawatt (GW) pada 2030.

“Panas bumi juga tidak dianaktirikan, karena sejak 15 tahun lalu, pengembangan panas bumi selalu jadi prioritas dan berbagai instrumen mitigasi risiko hulu dibuat oleh Kementerian Keuangan,” ujarnya.

Apalagi, lanjut Fabby,  saat ini ada fasilitas penurunan risiko eksplorasi panas bumi, yaitu Geothermal Resources Risk Management (GREM) yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). 

Belum lagi pendanaan infrastruktur panas bumi yang juga dikelola PT SMI sebesar Rp3,7 triliun yang berasal dari dana APBN dan hibah Bank Dunia. "Dibandingkan dengan Energi Terbarukan lainnya, upaya memberikan dukungan panas bumi jauh lebih besar," katanya.

Berita Rekomendasi

Selain itu, yang tidak kalah penting ada pemain besar dan konsisten yang kembangkan panas bumi di Tanah Air.

Baca juga: Kenaikan Harga BBM Momentum Pacu Target Bauran Energi Nasional

Salah satunya adalah PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina Power Indonesia, subholding Power and New Renewable Energy Pertamina. 

Demi mencapai NZE pada 2060, seluruh potensi energi terbarukan, termasuk panas bumi harus dikembangkan dengan optimal. 

"Dalam hal ini prospek bisnis PGE sangat bagus," ujarnya.

Namun, tambah Fabby, PGE tetap harus didukung dan diperkuat agar target yang dicanangkan bisa tercapai. Penguatan PGE lebih pada kemampuan dalam mengelola risiko. “Tak bisa dimungkiri pengembangan panas bumi tidak beda jauh dengan migas yang memiliki risiko sangat tinggi,” ujarnya.

Dia juga menyarankan agar PGE mempersingkat waktu pengembangan lapangan panas bumi dan pembiayaan untuk investasi. "Termasuk bermitra serta mengeksplorasi pemanfaatan listrik panas bumi untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi, misalnya green hydrogen," ujarnya.

Hilirisasi panas bumi menjadi salah satu fokus PGE. Indonesia berpotensi menjadi pusat industri panas bumi berskala global di masa depan berdasarkan besarnya potensi yang dimiliki. 

Untuk mencapai target tersebut harus ada upaya agar pemanfaatan energi panas bumi lebih optimal. Green hydrogen yang menjadi produk lanjutan panas bumi, pengembangannya bisa memberikan efek berantai luar biasa. Namun pengembangannya membutuhkan dana tidak sedikit.

Baca juga: Pengamat Nilai Kenaikan Harga BBM Bisa Jadi Momentum Kembangkan Energi Alternatif

Ahmad Yuniarto, Direktur Utama PGE, mengatakan risiko dalam pengelolaan proyek panas bumi tidak hanya pada fase eksplorasi. Ketika memasuki tahapan konsutruksi PLTP dan bahkan pada fase operasional lapangan dan PLTP, risiko malah meningkat. “Risiko ini terbagi atas risiko surface maupun sub-surface,” ujarnya.

Yuniarto menjelaskan, energi panas bumi diharapkan menjadi pilar utama dalam menyongsong kebutuhan akan EBT di masa datang, termasuk mendukung program NZE dan menjadi pemicu multiplier effect terhadap pengembangan green economy. 

Apalagi energi panas bumi merupakan satu-satunya EBT yang bisa mensuplai energi secara kontinu dan dapat dijadikan sebagai beban dasar (base load power) dalam sistem ketenagalistrikan dengan tingkat ketersediaan (availability factor) yang tinggi.

Saat ini, PGE mengelola 13 WKP dengan kapasitas terpasang PLTP sebesar +1,8GW, dimana 672MW dioperasikan dan dikelola langsung oleh PGE dan 1.205MW dikelola dengan skenario  Kontrak Operasi Bersama. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas