Eropa Kalang Kabut, Krisis Energi Diprediksi Makin Parah di 2023
Harga gas mulai turun setelah melonjak tajam dalam beberapa bulan sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 27 Februari 2022 lalu.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, HELSINKI - Kepala Badan Energi Internasional Fatih Birol mengatakan Eropa kemungkinan akan menghadapi krisis energi yang lebih parah pada tahun depan, setelah benua itu menguras tangki gas alamnya untuk melewati musim dingin ini.
Negara-negara Eropa telah mengisi tangki penyimpanan gasnya hingga 90 persen dari kapasitas mereka, setelah Rusia memotong pasokan gas sebagai tanggapan terhadap sanksi Barat yang dijatuhkan atas invasi Moskow ke Ukraina.
"Dengan penyimpanan gas hampir 90 persen, Eropa akan bertahan pada musim dingin mendatang dengan hanya beberapa memar selama tidak ada kejutan politik atau teknis," kata direktur eksekutif IEA, Fatih Birol, yang dikutip dari Reuters.
Harga gas mulai turun setelah melonjak tajam dalam beberapa bulan sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 27 Februari 2022 lalu.
Namun hal itu bisa berumur pendek karena negara-negara di kawasan Eropa saling bersaing untuk membeli gas alam cair (LNG).
Untuk mengatasi rasa sakit akibat lonjakan harga gas, Uni Eropa sedang mempertimbangkan pembatasan harga, sebuah masalah yang telah memecah blok 27 negara itu, karena beberapa negara khawatir pembatasan harga gas dapat mempersulit pasokan.
Eropa yang secara historis mengandalkan Rusia untuk memenuhi sekitar 40 persen kebutuhan gas alamnya, akan mulai menghadapi tantangan pada bulan Februari atau Maret tahun depan ketika kawasan itu perlu mengisi ulang penyimpanan gasnya.
Musim dingin telah menguras penyimpanan gas Eropa sekitar 25 hingga 30 persen.
Baca juga: Ketika Rusia Matikan Aliran Gas, Kekhawatiran akan Munculnya Krisis Energi Membayangi Eropa
"Musim dingin ini sulit tetapi musim dingin berikutnya mungkin juga sangat sulit," kata Birol kepada wartawan.
Pemerintah Eropa telah berupaya untuk melindungi konsumen dari dampak kenaikan harga yang tinggi. Hingga perang Ukraina pecah pada akhir Februari, pipa Nord Stream 1 di bawah Laut Baltik dari Rusia ke Jerman merupakan salah satu sumber utama gas Eropa.
Nord Stream 1 terdiri dari dua jalur terpisah seperti halnya Nord Stream 2, namun tidak pernah diizinkan untuk mengirim pasokan gas ke Eropa karena Jerman menangguhkan otorisasi sebelum Rusia menginvasi Ukraina.
Baca juga: Krisis Energi di Eropa Jadi Berkah Buat Perusahaan Afrika, Ekspor Batubara Meroket 8 Kali Lipat
Tiga dari empat saluran telah dinonaktifkan oleh apa yang dikatakan pihak Barat dan Rusia sebagai "sabotase" yang menyebabkan kebocoran besar, dan pihak berwenang Denmark mengatakan saluran keempat sedang tertekan pada Selasa (4/10/2022) lalu.
Sementara itu, Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan negara-negara Uni Eropa perlu meningkatkan perlindungan infrastruktur penting mereka dengan melakukan pengawasan satelit untuk mendeteksi potensi ancaman.
von der Leyen mengatakan hal tersebut di hadapan Parlemen Eropa menjelang pertemuan para pemimpin 27 negara Uni Eropa pada hari Jumat (7/10/2022) besok di Praha, Republik Ceko, untuk memperdebatkan rencana pembatasan harga di Uni Eropa.
Baca juga: Krisis Energi Makin Memanas, Raksasa Gas Intalia Ini Bertekad Salurkan Gas Indonesia ke Eropa
Detailnya belum diketahui, namun gagasan itu mendapat dukungan dari sebagian besar negara yang melihatnya sebagai cara untuk mengatasi lonjakan inflasi. Namun langkah tersebut menghadapi tantangan dari Jerman, Denmark dan Belanda yang menyatakan kekhawatiran mereka akan sulitnya mengamankan pasokan.
Ketua Komisi Eropa juga mengatakan dalam pidatonya bahwa negara-negara Eropa harus mulai bersama-sama membeli gas untuk menghindari negara-negara anggota UE saling menawar di pasar gas global dan mendorong harga yang lebih tinggi.
Ketegangan sebelumnya di pasar gas telah mereda karena perusahaan energi Rusia Gazprom pada Rabu (5/10/2022) kemarin melanjutkan ekspor gas ke Italia melalui Austria, setelah menyelesaikan masalah jaminan yang menyebabkan penghentian aliran selama sepekan.
Namun Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengatakan pada Rabu kemarin, Rusia dapat memangkas produksi minyak untuk menghindari efek negatif dari pembatasan harga yang diberlakukan Barat atas tindakan Moskow di Ukraina.
Rencana pembatasan harga yang telah disepekati oleh negara-negara Group of Seven (G7) yang menyerukan negara-negara lain untuk berpartisipasi menolak asuransi, keuangan, perantara dan layanan lainnya untuk kargo minyak dengan harga di tas batas harga minyak mentah dan produk minyak yang belum ditentukan.