Inflasi Sentuh Level Tertinggi 40 Tahun, Tapi Pasar Saham AS Justru Melesat
Lebih lanjut, Nico mengungkapkan, inflasi AS tersebut dipengaruhi oleh tingginya biaya tempat tinggal, makanan, dan kesehatan.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Tidak disangka, tidak dinyana, inflasi Amerika Serikat (AS) yang diprediksi mengalami penurunan hingga 8 persen, ternyata lagi-lagi turun hanya 0,1 persen secara tahunan atau year on year (yoy).
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, inflasi yang alot ini justru menjadi sebuah tanda, bahwa The Fed akan semakin liar dalam menaikkan tingkat suku bunganya.
"Pasalnya, inflasi inti Amerika sendiri telah naik ke nilai tertingginya dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Inflasi inti seperti yang kita ketahui, sebuah komponen yang menghitung kenaikkan harga, tanpa termasuk makanan dan energi, meningkat 6,6 persen dari tahun lalu atau menjadi level tertingginya sejak tahun 1982 silam," ujar dia melalui risetnya, Jumat (14/10/2022).
Baca juga: Buyback Saham, Pengamat Ekonomi: Long Term Insentif Tingkatkan Kinerja Karyawan
Lebih lanjut, Nico mengungkapkan, inflasi AS tersebut dipengaruhi oleh tingginya biaya tempat tinggal, makanan, dan kesehatan.
"Namun anehnya, persepsi bermain di sini, saham di Amerika justru naik 2,83 persen, setelah sebelumnya turun hampir 500 poin. S&P 500 pun naik 2,6 persen, begitupun dengan Nasdaq Composite naik 2,23 persen," katanya.
Menurut dia, pelaku pasar dan investor justru melihat inflasi yang alot sebagai salah satu langkah untuk mempercepat kenaikkan tingkat suku bunga The Fed, agar proses kenaikkan tingkat suku bunga tersebut segera mencapai titik akhir.
Baca juga: Joe Biden Terbitkan Pembatasan Ekspor Chip, Saham Teknologi China Kompak Anjlok
Hal ini yang dilihat oleh pelaku pasar dan investor sebagai sebuah kesempatan, meskipun Nico sendiri melihatnya tidak demikian.
"Alih-alih mengalami koreksi, tampaknya pelaku pasar dan investor justru ingin memulai melakukan akumulasi beli. Terlepas dari persiapan untuk menghadapi window dressing di akhir tahun," tutur Nico.
Sebab, data inflasi sebelumnya yang sifatnya sama, sama-sama alot pun bulan lalu malah membuat pelaku pasar dan investor memandang sebagai sesuai yang pesimis, di mana akan mendorong tingkat suku bunga The Fed mengalami kenaikkan.
"Namun ingat, persepsi masing masing orang tentu berbeda, dan kita tidak bisa menyamakan persepsi tersebut.
Semua akan kembali kepada pelaku pasar dan investor, terhadap persepsi dan ekspektasi kenaikkan tingkat suku bunga The Fed dan proyeksi ekonomi di masa yang akan datang," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.