Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Kenaikan Suku Bunga The Fed Bangkitkan Kekhawatiran krisis Ekonomi Asia di Era 1990

Sikap agresif The Fed yang mengerek naik suku bunga acuan ke level tertinggi secara tidak langsung mendorong lonjakan biaya obligasi atau surat utang

Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Kenaikan Suku Bunga The Fed Bangkitkan Kekhawatiran krisis Ekonomi Asia di Era 1990
Alpha News
Mata uang dan pasar saham di Asia tengah dibayangi krisis ekonomi, usai data inflasi AS pada September melesat di level 8,2 persen. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com  Namira Yunia Lestanti

TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Mata uang dan pasar saham di Asia tengah dibayangi krisis ekonomi, usai data inflasi AS pada September melesat di level 8,2 persen.

Krisis ekonomi ini bahkan diprediksi jadi yang terburuk mengungguli kondisi krisis Asia di era 1997.

Prediksi ini dilontarkan usai The Fed mengungkap rencananya untuk menaikkan suku bunga sebanyak 75 basis poin pada bulan depan, karena pengetatan moneter yang dilakukan pada bulan Agustus lalu gagal menyeret turun laju inflasi AS ke level 2 persen.

Baca juga: Pimpinan JPMorgan: Inflasi Tinggi Picu Kenaikan Suku Bunga Amerika Serikat di Atas 4,5 Persen

Meski masih tahap wacana, namun kebijakan tersebut berpotensi besar mendorong ekonomi global jatuh ke dalam resesi.

Sikap agresif The Fed yang mengerek naik suku bunga acuan ke level tertinggi secara tidak langsung mendorong lonjakan biaya obligasi atau surat utang jangka menengah ditengah inflasi.

Obligasi umumnya digunakan sebagai jaminan atau agunan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan pinjaman bank.

Berita Rekomendasi

Kenaikan harga pangan dan energi mendorong sejumlah negara berkembang untuk melakukan pinjaman demi memenuhi kebutuhan impor dalam negeri.

Baca juga: Inflasi AS Bulan September Capai 8,2 Persen, Kenaikan Suku Bunga The Fed Makin Kuat

Namun setelah biaya obligasi melonjak, investor harus membeli dollar AS untuk mendapatkan surat obligasi ini, kondisi ini yang kemudian membuat permintaan terhadap dolar meningkat.

Imbasnya, nilai tukar dolar AS naik 10 persen sejak awal tahun. Sedangkan nilai tukar mata uang lain melemah. 

Bloomberg mencatat, lima belas dari 23 mata uang pasar berkembang telah turun lebih dari 10 persen di sepanjang tahun ini. Seperti Yuan China, mata uang negara kedua dengan ekonomi terbesar di dunia ini terpantau amblas terhadap greenback hingga nilainya melesat jatuh 0,14 terhadap dollar. Ini merupakan rekor terendah bagi China dalam perdagangan internasional

Penurunan serupa juga terjadi pada Yen Jepang, dimana nilai tukar mata uang Yen sepanjang tahun ini jatuh sebesar 26 persen, diikuti dengan kemerosotan Rupee India yang melemah 0,05 persen, ringgit Malaysia 0,10 persen, dan baht Thailand 0,15 persen.

Mengikuti yang lainnya Mongolia, yang terdaftar sebagai negara di Asia Bagian Timur juga mengeluhkan tekanan pada mata uangnya akibat sikap panas The Fed. Bahkan investor yang ada di negara itu sekarang menuntut premi sekitar 1200 basis poin di atas Treasuries untuk menahan obligasi dolar Maret 2024.

Baca juga: Harga Minyak Turun Akibat Penguatan Dolar AS dan Suku Bunga The Fed, Jadi 92,45 Dolar AS per Barel

Munculnya devaluasi atau penurunan mata uang yang berpanjangan, dikhawatirkan dapat mengirimkan gelombang kejut ke pasar Asia hingga memicu krisis ekonomi besar akibat aksi pelarian modal secara besar-besaran dan turbulensi pasar saham, seperti yang terjadi pada 1997.

Tak hanya itu devaluasi yang disebabkan kenaikan suku bunga The Fed bahkan telah memicu lonjakan utang di sejumlah negara Asia hingga membengkak hampir 100 persen dari produk domestik bruto tahunan.

Pembengkakan mulai terjadi lantaran biaya kredit yang harus dibayarkan dengan mata uang dolar ikut melonjak, tekanan ini yang membuat negara-negara berkembang kesulitan untuk membayarkan tagihan utang luar negerinya.

“Akan ada negara-negara yang akan gagal bayar dan merestrukturisasi utang," kata Lisa Chua, manajer portofolio yang berbasis di New York di hedge fund Man Group.

Menurut perkiraan setidaknya pemerintah negara berkembang di kawasan Asia harus membayarkan tagihan obligasi berdenominasi dolar dan euro pada akhir 2024, sebesar 350 miliar dolar AS. Melonjak tajam dari perkiraan tahun lalu.

Baca juga: Nilai Tukar Rupiah Masih Dibayangi Sinyal Kenaikan Suku Bunga The Fed, Diprediksi ke Level Rp15.290

Selain Asia, pengetatan moneter yang dilakukan The Fed juga mendorong tagihan kredit Mesir, Nigeria dan Pakistan menggelembung ke level tertinggi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas