Perdana Menteri Rishi Sunak Janji Bawa Inggris Keluar dari Krisis Ekonomi
Rishi Sunak memuji ambisi pendahulunya Liz Truss untuk mengangkat kembali pertumbuhan ekonomi, tetapi menyebut ada kesalahan telah dibuat.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, LONDON – Perdana Menteri baru Inggris, Rishi Sunak berjanji untuk memimpin negara itu keluar dari krisis ekonomi yang mendalam dan membangun kembali kepercayaan dalam politik.
Berbicara di luar kediaman resmi Downing Street, Rishi Sunak memuji ambisi pendahulunya Liz Truss untuk mengangkat kembali pertumbuhan ekonomi, tetapi menyebut ada kesalahan telah dibuat.
"Saya telah terpilih sebagai pemimpin partai saya dan perdana menteri Anda, sebagian untuk memperbaiki mereka," kata Sunak.
Baca juga: Rishi Sunak Resmi Jadi Perdana Menteri Inggris Setelah Dilantik Raja Charles III: Simak Kiprahnya
"Saya juga mengerti bahwa saya memiliki pekerjaan yang harus dilakukan untuk memulihkan kepercayaan, setelah semua yang telah terjadi. Yang bisa saya katakan adalah bahwa saya tidak gentar. Saya tahu jabatan tinggi yang telah saya terima dan saya berharap untuk memenuhi tuntutannya,” imbuhnya.
Keputusan Sulit
Dikutip dari Reuters, Rabu (26/10/2022), Rishi Sunak, yang menjalankan Departemen Keuangan selama pandemi Covid-19, berjanji untuk menempatkan stabilitas ekonomi di atas kepentingan lainnya.
"Ini merupakan keputusan sulit yang akan datang," kata Sunak, tak lama setelah dia menerima permintaan Raja Charles untuk membentuk pemerintahan.
Sementara itu, ekonom dan investor menyambut baik penunjukan Sunak sebagai Perdana Menteri baru Inggris, tetapi mereka memperingatkan bahwa Sunak memiliki beberapa pilihan untuk memperbaiki keuangan negara ketika jutaan orang berjuang melawan krisis biaya hidup.
Baca juga: Usai Pelantikan Rishi Sunak, Poundsterling Inggris Bangkit di Tengah Lonjakan Inflasi
Sunak juga berjanji untuk menempatkan kebutuhan publik di atas politik, sebagai pengakuan atas meningkatnya kemarahan di kelas politik Inggris dan pertempuran ideologis yang telah berkecamuk sejak pemungutan suara bersejarah 2016 untuk meninggalkan Uni Eropa.