Bahlil Sebut Aliran Dana Investasi EBT Bagi Negara Berkembang Sudah Setara Negara Maju
Perdebatan itu terjadi saat pertemuan G20 tingkat Menteri Investasi beberapa waktu lalu. Lantaran tidak meratanya dana investasi EBT
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengatakan, terjadi perdebatan mengenai penyaluran dana investasi kebijakan industri ramah lingkungan (green energy) menjadi ramah lingkungan atau transisi energi baru terbarukan (renewble energy).
Kata Bahlil, perdebatan itu terjadi saat pertemuan G20 tingkat Menteri Investasi beberapa waktu lalu. Lantaran tidak meratanya dana investasi EBT yang diperoleh negara-negara berkembang.
"Itupun perdebatan panjang, tapi alhamdulillah saya sendiri yang memimpin delegasi ditingkat menteri dan disetujui bahwa terjadinya pemerataan penyebaran alur investasi," kata Bahlil saat Media Gathering di Nusa Dua, Minggu (13/11/2022).
Baca juga: PGN Maksimalkan 7 Potensi Kolaborasi Green Energy
Bahlil mengatakan, penyaluran investasi itu sebelumnya tidak merata dan tidak adil khusus nya bagi negara-negara berkembang. Terlebih, 80 persen produk domestik bruto (Gross domestic product) dikelola oleh negara G20.
"Jadi kalau 1/5 hanya dikuasai oleh negara berkembang yang termasuk dari negara G20 ini, terjadi ketimpangan yang luar biasa. Maka Indonesia menginisiasi agar harus terjadi keadilan penyebaran investasi untuk EBT," ujarnya.
Lebih lanjut, Bahlil mengatakan, perdebatan lain mengenai ketidakadilan harga karbon di mana Indonesia tidak menyetujui.
"Jujur menyangkut karbon kenapa kita perjuangkan, karena kami memandang harga karbon belum adil, negara maju harga karbon dinilai tinggi sekali, ada yang sampe 100 dolar Amerika Serikat," kata Bahlil.
Bahlil berujar, perdebatan itu nyatanya belum berhasil memperoleh kesepakatan. Meski kata dia, Indonesia penyumbang paling sedikit emisi gas karbon dibanding negara berkembang lainnya.
"Negara-negara berkembang, awalnya hanya 10 dolar Amerika Serikat sampe 30 dolar Amerika Serikat. Tapi itu kami anggap belum adil, kami minta minimal 50 dolar Amerika Serikat karena indonesia penyumbang emisi 2,4 ton yang lainnya 10 ton. Kita deadlock tidak mencapai kesepahaman," ujar Bahlil.
Adapun dilansir dari Kompas.com, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengungkapkan, saat pertemuan G20 tingkat Menteri Investasi beberapa waktu lalu, terjadi perdebatan yang panjang terkait harga karbon di mana Indonesia tidak setuju.
"Saya mohon maaf kepada saudara-saudara saya dari negara yang sudah maju. Harga karbon negara maju dan negara berkembang yang mempunyai sumber daya terhadap karbonisasi yang baik itu harganya berbeda. Negara maju mungkin harganya bisa sampai 100 dollar AS per ton. Negara berkembang seperti Indonesia hanya dihargai 20 dollar AS per ton, bahkan hanya sampai 17 dollar AS per ton," ucap Bahlil dalam sambutan B20 Summit, Minggu.
Baca juga: PGN Gali 7 Potensi Kolaborasi Green Energy di Dubai Expo
Kata Bahlil, terkait harga karbon harus dilakukan bersama demi kesejahteraan seluruh wilayah di dunia.
"Saya tidak punya keyakinan besar ketika kita memakai rumusan harga karbon mahal di sebuah negara karena membutuhkan investasi besar akibat lahan-lahan atau resources (sumber) yang sudah ada untuk mendukung investasi yang besar," kata Bahlil.