Ekonom Nilai Talenta di Bidang Teknologi Punya Kesempatan Kerja Lebih Tinggi
Pekerja di sektor teknologi yang terdampak efisiensi tidak perlu khawatir karena keterampilannya yang langka dan banyak dibutuhkan perusahaan.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dunia usaha global dan nasional tengah menghadapi kondisi yang kurang baik. Alhasil sejumlah perusahaan yang bergerak di berbagai sektor, terpaksa melakukan efisiensi karyawan dalam beberapa bulan terakhir.
Situasi kurang kondusif turut menimpa perusahaan-perusahaan raksasa teknologi dunia seperti Amazon, Meta, dan Twitter.
Tak hanya di lingkup global, beberapa perusahaan teknologi di Indonesia juga mengalami situasi serupa, seperti Shopee, Grab dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo).
Walau terjadi banyak efisiensi, karyawan perusahaan teknologi terus diincar di pasar termasuk di industri konvensional.
Baca juga: GoTo dan Ruangguru Diterpa Badai PHK, Hal Ini Jadi Penyebabnya
Oleh karena itu, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (Pustek UGM) Hempri Suyatna menilai talenta atau pekerja di sektor teknologi yang terdampak efisiensi tidak perlu khawatir. Pasalnya mereka memiliki keterampilan yang langka dan banyak dibutuhkan oleh dunia usaha saat ini baik di perusahaan startup maupun non startup.
“Saya melihat para karyawan di sektor teknologi ini memiliki skill di atas rata-rata dan dibutuhkan dalam pekerjaan yang ada kaitannya dengan digitalisasi. Mereka bisa bertransformasi di sektor lain seperti membantu mengembangkan startup maupun perusahaan yang memang membutuhkan talenta mereka. Artinya peluang mereka untuk terlibat atau bekerja di sektor formal terbuka luas,” kata Hempri kepada wartawan, Sabtu (19/11/2022).
Hempri melanjutkan, talenta-talenta di sektor teknologi ini juga dapat mengembangkan kemampuan mereka dengan masuk ke bidang lain yang berbasiskan teknologi.
Sebab selama ini, jenis dari perusahaan teknologi masih banyak yang serupa, dimana sebagian besar dari mereka bergerak di e-commerce, transportasi, wisata, maupun fintech.
“Nah, alangkah bagusnya jika mereka bisa mengembangkan pekerjaan berbasis digital ini di sektor lain seperti misalnya sektor pertanian, kelautan, atau sektor lain yang selama ini kurang terpikirkan,” tutur Hempri.
Hempri menambahkan, peluang pekerjaan di bidang teknologi masih cukup terbuka dan akan terus meningkat dan mencapai puncaknya pada 2030 mendatang.
Hal senada diungkapkan Ekonom Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Izzudin Al Farras Adha. Menurutnya, karyawan yang pernah bekerja di perusahaan-perusahaan teknologi besar akan lebih mudah dalam mendapatkan pekerjaan.
“Misalnya mantan karyawan GoTo, dia akan lebih mudah diserap pasar. Mereka akan punya kesempatan kerja lebih tinggi. Yang membedakan mungkin dari lama tunggunya dan bergantung pada pengalaman kerja yang memang bervariasi,” ujarnya.
Terlebih saat ini hampir seluruh perusahaan di berbagai sektor tengah berupaya melakukan digitalisasi, termasuk sektor-sektor formal. Sehingga SDM di bidang teknologi akan sangat dibutuhkan.
“Seperti pasca pandemi, ada dua sektor industri yang berkembang cukup pesat, yaitu sektor konstruksi dan perdagangan. Dua sektor itu tentu membutuhkan SDM dibidang teknologi. Jadi tinggal bagaimana SDM tersebut melakukan adaptasi sesuai dengan budaya dan lingkungan kerja yang baru,” kata Farras.
Baca juga: Tak Hanya GoTo, Ini Sederet Perusahaan Industri Digital yang PHK Karyawan Sepanjang 2022
Terkait alasan di balik efisiensi karyawan, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan ada beberapa penyebab terjadinya pengurangan karyawan di perusahaan-perusahaan teknologi global seperti Amazon, Meta, dan Twitter.
Menurut Bhima, perusahaan perlu melakukan efisiensi untuk menekan biaya di tengah kondisi ekonomi global yang menghadapi tantangan cukup berat di tahun depan. Selain itu juga agar bisnis perusahaan tersebut dapat tumbuh secara berkelanjutan dalam jangka panjang.
Penyebab lain adalah adanya faktor reorganisasi perusahaan, sebagai contoh Twitter. Setelah diambil alih Elon Musk, Twitter melakukan reorganisasi dengan mengurangi hamper setengah dari total karyawannya. Dengan kondisi seperti itu, ditambah ancaman resesi global, perusahaan ini harus memperkecil unit bisnisnya.
“Apa yang terjadi di global, efeknya tentu juga terbawa ke Indonesia. Kalau di global terjadi pemangkasan atau reorganisasi massif, maka efeknya banyak perusahaan rintisan atau startup di Indonesia melakukan hal yang sama untuk bertahan,” tutur Bhima.