Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pemerintah Akan Stop Ekspor Bauksit pada 2023, Ini Respon Industri Pertambangan

Bauksit merupakan bahan mentah yang diolah menjadi Smelter Grade Alumina (SGA) dan selanjutnya menghasilkan alumunium ingot.

Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Pemerintah Akan Stop Ekspor Bauksit pada 2023, Ini Respon Industri Pertambangan
Just Share
Ilustrasi. Industri tambang bauksit akan menghadapai tantangan baru pada tahun 2023. Hal tersebut terkait dengan penambahan jumlah smelter dan adanya Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 tahun 2020 yang hanya mengizinkan ekspor bauksit paling lama sampai 10 Juni 2023. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri tambang bauksit akan menghadapai tantangan baru pada tahun 2023.

Hal tersebut terkait dengan penambahan jumlah smelter dan adanya Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 tahun 2020 yang hanya mengizinkan ekspor bauksit paling lama sampai 10 Juni 2023.

Terkait hal ini BUMN holding industri pertambangan MIND ID mengaku siap dan mendukung keputusan pemerintah.

"Bagian dari langkah hilirisasi industri tambang untuk meningkatkan nilai tambah. Selain itu siap menggandeng mitra strategis," kata Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santoso dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Rabu(30/11/2022).

Baca juga: Dunia Hadapi Resesi, Indonesia Diuntungkan Ekspor Tambang dan Sawit, Apa Antisipasi Investor?

Bauksit merupakan bahan mentah yang diolah menjadi Smelter Grade Alumina (SGA) dan selanjutnya menghasilkan alumunium ingot.

Sebagai gambarannya, nilai jual untuk 1 ton bauksit sekitar US$31. Sedangkan harga alumina untuk 0,30 ton mencapai US$118,8 atau ada kenaikan nilai mencapai 3,8 kali.

Berita Rekomendasi

Jika diolah kembali menjadi alumunium (150 kg) dengan harga jual sebesar US$465 atau naik 4,1 kali.

Hendi menuturkan, total permintaan alumunium domestik pada tahun 2030 diprediksi mencapai 1,2 juta ton. Saat ini terdapat selisih per tahun (KTA) untuk alumunium primer antara produksi Inalum as-is dan permintaan domestik.

"Selain itu terdapat peluang untuk memenuhi permintaan aluminium sekunder baik domestik maupun global yang pertumbuhannya lebih tinggi dibanding aluminium primer," ujarnya.

Pada tingkat global, pertumbuhan konsumsi paling tinggi adalah produk castings dan wire and cables. Sektor transport, consumer durables, dan electrical memiliki proyeksi pertumbuhan yang paling tinggi karena didorong oleh subsitusi material dan kebutuhan industri besar masa depan seperti electrical vehicle (EV).

Adapun untuk integrasi rantai nilai bauksit-aluminium MIND ID sendiri, pertambangan bauksit ada di PT Aneka Tambang Tbk (Antam) melalui North Blok yaitu Mempawah, Landak, BEI, GK, dan DK. Serta South Block yaitu Tayan, Munggu Pasir, dan MCU.

Selanjut proses refining (pengilangan) hingga smelting dilakukan bersama Antam dan PT Inalum dengan komposisi 40 persen:60 persen.

Dalam hilirisasi aluminium, Hendi menggarisbawahi faktor-faktor kritikal yang menjadi tantangan kebijakan ini.

Baca juga: Pembangunan Smelter Mempawah Kembali Berjalan, Diharapkan Dapat Menyerap Tenaga Kerja Lokal

Pertama, kebutuhan listrik. Listrik adalah faktor utama idustri aluminium. Biaya listrik jangka panjang yang rendah akan menjadi competitive advantage industri aluminium di Indonesia untuk proyek peningkatan produksi.

Kedua, belanja modal (capex). Pemilihan teknologi yang optimal disesuaikan dengan peta jalan produk yang kritis. Asumsi penggunaan teknologi EGA saat ini.

Ketiga, advokasi kebijakan. Terutama terkait dukungan pengembangan industri lokal misalnya biaya tanah, hambatan tarif dan non-tarif, potongan pajak, dan akses ke tenaga air dan dukungan tarif listrik rendah.

Keempat, pengembangan. Mingkatkan segmen bisnis yang menarik akan meningkatkan profil pengembalian.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas