IMF Sebut Perlambatan China akan Berdampak pada Pertumbuhan Ekonomi Negara Asia
Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara diprediksi mencapai 5 persen di akhir tahun ini dan sedikit menurun pada 2023.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO – Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menandai meningkatnya tekanan inflasi dan perlambatan ekonomi China sebagai risiko terhadap prospek ekonomi Asia sembari meminta pembuat kebijakan untuk membangun kembali penyangga mereka terhadap guncangan di masa depan.
Dilansir dari Channel News Asia, presiden Bank Pembangunan Asia (ADB) Masatsugu Asakawa juga mendesak para pembuat kebijakan di kawasan Asia untuk mewaspadai tanda-tanda arus keluar modal yang tiba-tiba didorong oleh kenaikan suku bunga AS yang stabil.
"Kami sudah melihat risiko pengetatan agresif kebijakan moneter AS untuk melawan inflasi, yang dapat memicu pembalikan aliran modal secara tiba-tiba atau depresiasi mata uang yang tajam," kata Asakawa melalui panggilan video yang disiarkan di forum ASEAN+3 yang berlangsung di Singapura pada Jumat (2/12/2022).
Baca juga: Ekonomi China Terguncang, Yuan Jatuh Ke Level Terendah Sejak 15 Tahun
Selain itu, Georgieva juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara mencapai 5 persen di akhir tahun ini dan sedikit menurun pada 2023.
Namun dia memperingatkan prospek itu "sangat" tidak pasti dan didominasi oleh risiko, seperti dampak dari perang Rusia di Ukraina, pengetatan keuangan global, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi China.
"Tantangan global lain yang mendesak adalah inflasi dan diperkirakan rata-rata hanya 4 persen di Asia tahun ini,” kata Georgieva.
"Kami tidak tahu berapa lama kejutan ini akan berlangsung dan apakah kejutan lain akan datang. Tapi kami perlu membangun kembali dan mempertahankan penyangga serta bersiap untuk menggunakan perangkat kebijakan kami sepenuhnya," imbuhnya.
Seperti diketahui, penguncian ketat Covid-19 di China telah membebani pertumbuhan global yang sudah melambat dengan meredam aktivitas ekonomi domestik dan mengganggu rantai pasokan untuk produsen di seluruh dunia.
Adapun, dampak dari perlambatan China “terasa sangat menyakitkan” khususnya di kawasan Asia, di mana aktivitas manufaktur merosot di seluruh wilayah tersebut pada November.
Lantas, beberapa negara berkembang pun terpaksa menaikkan suku bunga untuk memerangi arus keluar modal yang disebabkan oleh kenaikan suku bunga AS, dengan mengorbankan perekonomian mereka yang rapuh.
Tidak Ada Krisis Keuangan Baru
Pada forum tersebut, Gubernur Bank Sentral Jepang (BoJ) Haruhiko Kuroda mengatakan bahwa dia tidak melihat risiko yang signifikan dari Asia yang tiba-tiba kehilangan kepercayaan atau krisis keuangan baru.
Namun, dia memperingatkan agar tidak berpuas diri karena beberapa negara Asia melihat buffer kebijakan mereka berkurang, setelah mengerahkan paket pengeluaran besar untuk melawan pandemi Covid-19.
Baca juga: Aktivitas Manufaktur Berkontraksi, Ekonomi China Semakin Menyusut
"Seperti yang ditunjukkan oleh gejolak pasar di Inggris baru-baru ini, reaksi pelaku pasar terhadap keputusan dan pengumuman kebijakan dapat berdampak signifikan pada harga aset," kata Kuroda, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai kepala ADB dan diplomat mata uang utama Jepang.
"Pembuat kebijakan ASEAN harus waspada terhadap risiko dan menawarkan komunikasi yang jelas, memadai, dan tepat waktu untuk menghindari hasil yang tidak diinginkan,” pungkasnya.