Ekspor Jepang ke China Merosot Tajam, Kekhawatiran Resesi Global Makin Besar
Pertumbuhan ekspor Jepang melambat tajam di bulan Desember 2022 karena pengiriman ke China turun untuk pertama kalinya dalam tujuh bulan ini.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Pertumbuhan ekspor Jepang melambat tajam di bulan Desember 2022 karena pengiriman ke China turun untuk pertama kalinya dalam tujuh bulan ini.
Hal tersebut memicu kekhawatiran perlambatan lebih lanjut pada ekonomi global dan permintaan eksternal atas produk-produk ekspor Jepang.
Dikutip dari Reuters, ekspor Jepang naik 11,5 persen secara year-on-year (YoY) pada Desember setelah naik 20 persen di bulan sebelumnya, menandai pertumbuhan paling lambat sejak awal tahun 2022.
Penurunan ekspor tersebut terseret oleh penurunan penjualan mobil, suku cadang mobil, dan mesin pembuat chip ke China, menurut data Kementerian Keuangan Jepang (MOF) yang terbit hari ini, Kamis (19/1/2023).
Data yang lemah memangkas harapan pembuat kebijakan untuk pemulihan yang didorong oleh ekspor, sehingga memberikan lebih banyak tekanan pada pemerintah Jepang untuk membujuk perusahaan Jepang mempercepat kenaikan upah demi membantu meningkatkan permintaan domestik.
Ekspor ke China, mitra dagang terbesar Jepang, turun 6,2 persen YoY dalam hal nilai dan turun 24 persen dalam hal volume pada Desember.
Sementara ekspor Jepang ke Amerika Serikat pada Desember naik 16,9 persen, dipimpin oleh pengiriman mobil, peralatan tambang, dan suku cadang mesin pesawat.
Baca juga: Pertama Kalinya Dalam 7 Bulan Terakhir Ekspor Jepang Mengalami Penurunan
"Kemacetan ekonomi China yang tak terduga datang di atas perlambatan di Eropa dan Amerika. Dalam kasus terburuk, ini dapat memberikan pukulan bagi ekspor Jepang, yang pada gilirannya dapat memukul output pabrik dan belanja modal Jepang," kata kepala ekonom di ITOCHU Research Institute, Atsushi Takeda.
Dia mengatakan, Jepang kemudian tidak punya pilihan selain beralih ke permintaan domestik untuk mengisi kekosongan.
"Pembicaraan upah musim semi antara tenaga kerja dan manajemen memainkan peran penting untuk melihat apakah konsumsi swasta akan bertahan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang baik," tambahnya.
Baca juga: Yen Jepang Merosot Usai Bank Sentral Pertahankan Kebijakan Ultra-Longgar
Aktivitas ekonomi terhambat di China akibat gelombang infeksi COVID-19 setelah pemerintah negara itu mulai membongkar kebijakan "nol-COVID" pada bulan lalu.
Meskipun gelombang infeksi terbaru diperkirakan telah memudar pada musim semi di China, ekonomi terbesar kedua di dunia itu akan membutuhkan waktu untuk kembali ke tingkat pra-pandemi dan risiko gelombang COVID-19 lebih lanjut tetap ada, kata Takeda.
Data perdagangan Jepang juga menyoroti tantangan negara yang kekurangan sumber daya yang sangat bergantung pada impor komoditas dan energi.
Baca juga: Perusahaan Pialang Monex Berniat Membeli FTX Jepang
Impor tumbuh 20,6 persen dalam nilai, dipimpin oleh minyak, batu bara, dan gas alam cair, mendorong inflasi yang akan meningkatkan biaya hidup dan harga dalam menjalankan bisnis, yang berpotensi merugikan permintaan dalam perekonomian.
Kenaikan ekspor dan impor sebagian besar sejalan dengan perkiraan para ekonom dalam jajak pendapat Reuters.
Akibatnya, defisit perdagangan Jepang untuk Desember mencapai 1,45 triliun yen atau sekitar 11,29 miliar dolar AS, memperpanjang jangka waktu defisit menjadi 17 bulan.
Sepanjang tahun 2022, Jepang mencatat defisit perdagangan sebesar 19,97 triliun yen, yang menjadi penurunan tahunan kedua berturut-turut dan terbesar sejak 1979.