Faisal Basri: Harga Jual CPO Lebih Tinggi untuk Biodiesel, Minyak Goreng Terdiskriminasi
Petani sawit lebih tertarik menjual CPO untuk biodiesel karena harganya lebih tinggi dibandingkan ke industri minyak goreng.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Senior Faisal Basri menguliti permasalahan minyak goreng yang kembali dikeluhkan konsumen dan industri.
Faisal menilai minyak goreng kembali langka dan mahal harganya akibat berkurangnya pasokan Crude Palm Oil (CPO).
Menurut dia, petani sawit lebih tertarik menjual CPO untuk biodiesel karena harganya lebih tinggi dibandingkan ke industri minyak goreng.
Baca juga: Industri Otomotif Dukung Implementasi Biodiesel B35, Gaikindo: Bisa Tekan Impor BBM
"Hak setiap orang untuk menjual (CPO) dengan harga yang lebih baik, oleh karena itu secara relatif bisa dikatakan minyak goreng didiskriminasi," ucap Faisal dalam webinar Problematika Minyak Goreng, CPO Bagi Pangan Vs Energi, Sabtu (4/2/2023).
Wajar saja, urai Faisal, petani memilih menjual sawit mereka ke industri biodiesel agar mendapatkan dana subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Inilah biang keladinya akibat pemerintah menetapkan dua harga, kalau ada dua harga dia akan cari penjualan harga tinggi," terangnya.
Dosen FEB UI ini melihat tidak ada harmonisasi di hulu sehingga menimbulkan trade off (kondisi harus memilih salah satu di antaranya).
Faisal menegaskan data dari 2022 sampai 2023 pengguna terbesar dari CPO adalah biodiesel mengalahkan industri makanan.
"Pada 2022 industri pangan masih lebih tinggi berdasarkan data Gapki yaitu 9,9 juta dan biodiesel 8,8 juta," ungkapnya.
Dia mengatakan mandatory pemerintah terkait biodiesel 35 persen dan ditambah peningkatan konsumsi solar membuat minyak goreng menjadi kekurangan pasokan.
"Karena dikasih insentif dan mandatory sementara minyak goreng nggak, jadi akar masalahnya adalah kebijakan pemerintah sendiri," tuntasnya.