Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Moratorium Izin Koperasi Karena Maraknya Gagal Bayar, Ada Koperasi Bodong Dengan Omzet Rp 15 T

Moratorium perizinan usaha koperasi ini akan dilakukan selama tiga bulan, mulai Februari 2023 hingga April 2023.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Moratorium Izin Koperasi Karena Maraknya Gagal Bayar, Ada Koperasi Bodong Dengan Omzet Rp 15 T
Tribunnews/JEPRIMA
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan baru terkait perkoperasian. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan baru terkait perkoperasian.

Kebijakan tersebut terkait dengan maraknya gagal bayar yang terjadi terhadap operasional koperasi di Indonesia.

Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menerbitkan Surat Edaran tentang kebijakan moratorium perizinan usaha koperasi simpan pinjam.

Moratorium perizinan usaha koperasi ini akan dilakukan selama tiga bulan, mulai Februari 2023 hingga April 2023.

Baca juga: 70 Nasabah Koperasi di Klaten Laporkan Kasus Dugaan Penipuan, Kerugian Mencapai Rp 1,8 Miliar

"Moratorium ini diberlakukan untuk izin usaha baru koperasi simpan pinjam dan koperasi simpan pinjam yang akan membuka kantor cabang baru," kata Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM, Ahmad Zabadi, dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (17/2/2023).

Moratorium izin usaha koperasi simpan pinjam ini sejatinya untuk melanjutkan kebijakan yang telah dilakukan KemenKopUKM lewat Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2022 tentang Moratorium Perizinan Usaha Simpan Pinjam Koperasi.

Jangka waktu kebijakan moratorium pun berlaku 3 (tiga) bulan sejak dikeluarkan pada 17 November 2022.

Berita Rekomendasi

Menurut surat edaran tersebut, moratorium dilakukan karena peranan koperasi yang awalnya bertujuan baik, banyak disalahgunakan oleh oknum koperasi, khususnya yang memiliki usaha simpan pinjam.

KemenKopUKM juga menemukan ada koperasi yang melaksanakan usaha simpan pinjam tidak sesuai dengan prinsip dan nilai dasar koperasi serta ketentuan yang berlaku.

Menurut Zabadi, berdasarkan kondisi di atas perlu dilanjutkan kebijakan moratorium perizinan usaha simpan pinjam koperasi, termasuk di dalamnya izin pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor kas usaha simpan pijam koperasi.

Baca juga: Hadapi Ancaman Resesi, Kemenkop UKM Siapkan Tiga Program untuk Koperasi dan UMKM

Selain moratorium, KomenKopUKM juga sedang merumuskan rancangan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM yang akan ditetapkan dalam waktu dekat, di mana salah satunya mengatur lebih lanjut terkait dengan perizinan usaha berbasis risiko sektor usaha simpan pinjam oleh koperasi.

Gagal Bayar

Sebelumnya Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan terdapat 8 koperasi simpan pinjam (KSP) yang mengalami gagal bayar saat Pandemi Covid-19.

Mereka mengajukan penundaan pembayaran kewajiban utama pada 2024-2025.

“Mereka sudah menempuh penundaan pembayaran kewajiban utama antara 2024 sampe 2025,” kata Teten di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu, (8/2/2023).

Menurut Teten realisasi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) masih rendah.

Baca juga: Periksa Eks Menteri Koperasi Syariefuddin Hasan, KPK Dalami Alokasi Dana ke LPDB-KUMKM

KSP SB misalnya baru 3 persen dan Indosurya 15,58 persen. Karena hal tersebut sudah masuk dalam ranah penegakan hukum maka, ia berkoordinasi dengan Menkopolhukam Mahfud MD.

“Tadi saya juga laporkan ke beliau bahwa realisasi ini rendah karena memang ada penggelapan aset, aset koperasinya tidak dimiliki oleh koperasi tapi dimiliki oleh pengurus. lalu juga diinvestasikan di perusahaan perusahaan milik pendiri dan pengurus,” katanya.

“Jadi ini persis seperti praktek perbankan tahun 98 dimana koperasi simpan pinjam kumpulkan dana dari masyarakat lalu diinvestasikan di grupnya sendiri tanpa ada batas minimum pemberian kredit,” imbuhnya.

Baca juga: Kemenkop UKM: RUU Perkoperasian Akan Lindungi dan Berdayakan Koperasi

Teten mengatakan kejadian tersebut tidak terlepas dari kelemahan UU Koperasi nomor 25 tahun 1992. Dalam undang-undang tersebut pemerintah tidak memiliki kewenangan mengawasi KSP.

“Pengawasan dilakukan oleh koperasi sendiri, oleh pengawas yang diangkat oleh koperasi,” katanya.

Revisi UU Koperasi

Teten Masduki mengatakan pihaknya sudah menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan juga Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengenai rencana revisi UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Hal itu disampikan Teten usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (8/2/2023).

“Karena itu saya sudah sampaikan ke presiden dengan pak Menko ekonomi mengenai rencana revisi UU Koperasi,” katanya.

Menurut Teten UU Koperasi sekarang ini masih lemah. Pemerintah tidak bisa melakukan pengawasan langsung kepada koperasi sebagaimana yang dilakukan kepada bank.

“Jadi kalau di bank kan sudah ada kalau gagal bayar ada LPS, pengawasnya ada OJK, di koperasi ini gak ada,” katanya.

Baca juga: Saksi Kemenkop Jelaskan Mengenai Aturan Hukum Koperasi di Sidang Indosurya

Resvisi Undang-undang koperasi kata Teten, diperlukan agar pejahat keuangan di perbankan tidak pindah ke koperasi. Teten mencontohkan perusahaan fintech yang mendirikan koperasi. Apabila pengawasan terhadap koperasi lemah maka itu akan membahayakan, karena masyarakat rentan tertipu oleh investasi yang dijalankan oleh koperasi simpan pinjam.

Revisi UU Koperasi saat kata Teten telah diharmonisasi dan akan segera didorong ke badan legislasi DPR agar masuk Prolegnas.

“Jadi kita sudah harmonisasi, kita akan segera dorong ke baleg supaya ini masuk di prolegnas,” pungkasnya.

Koperasi Bodong

Sementara laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendapati adanya 12 koperasi bodong dengan omzet Rp15 triliun memantik keprihatinan banyak kalangan.

Pengelola koperasi pun diminta untuk kembali ke semangat dasar (khittah) pendirian koperasi dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota.

“Kami sepakat jika saat ini Indonesia dikatakan mengalami Darurat Koperasi karena masifnya penyalahgunaan koperasi sebagai entitas usaha kerakyatan menjadi kedok investasi illegal yang ujungnya memicu kerugian ribuan nasabah. Maka koperasi harus kembali ke khittah sebagai soko guru perekonomian Indonesia,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi, Rabu (15/2/2023).

Berdasarkan paparan PPATK dalam Rapat Kerja Bersama Komisi III DPR diketahui jika saat ini ada sedikitnya 12 koperasi bodong yang menjalankan skema ponzi untuk menarik duit investasi dari nasabah.

Perputaran investasi koperasi bodong ini mencapai angka Rp500 triliun. Dana investasi tersebut mengalir dalam berbagai bentuk penggunaan seperti pembelian jet pribadi hingga operasi plastic.

Duit investasi tersebut juga menggalir ke berbagai negara suaka pajak (tax heaven) di dunia.

Fathan menjelaskan fakta yang diungkap PPATK ini tentu menguatkan rumor jika saat ini koperasi yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan anggota dengan segala keistimewaannya menjadi kedok investasi ilegal.

Dengan minimnya pengawasan dari pihak eksternal maka potensi penyalagunaan uang nasabah akan sangat besar.

“Kasus Koperasi Indosurya yang diduga menyalahgunakan uang nasabah hingga Rp106 triliun menjadi contoh bagaimana koperasi saat ini hanya menjadi kedok investasi ilegal. Korbannya juga tidak tanggung-tanggung ada 23.000 nasabah yang kehilangan dana,” katanya.

Situasi ini, lanjut Fathan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada langkah terobosan untuk memastikan “jenis kelamin” dari koperasi sebagai entitas bisnis. Apakah mereka hanya melayani anggota saja atau juga melebarkan sayap pelayanan kepada non-anggota.

“Jika memang Koperasi Simpan Pinjam (KSP) telah melayani non-anggota maka sesuai dengan UU P2SK mereka harus beralih menjadi Koperasi di sektor jasa keuangan sehingga memungkinkan adanya pengawasan dari pihak eksternal dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” kata Sekretaris Fraksi PKB DPR RI tersebut.

Dalam UU P2SK, kata Fathan ketentuan invetarisasi jenis koperasi ini akan berlangsung selama dua tahun sejak beleid tersebut diundangkan.

Artinya saat ini masih dalam status quo di mana koperasi simpan pinjam yang melayani non-anggota tetap bisa beroperasi tanpa pengawasan dari pihak eksternal sehingga memungkinkan penyalahgunaan dana nasabah.

“Di sinilah dibutuhkan langkah terobosan tersebut untuk memastikan keamanan dana nasabah koperasi simpan pinjam. Di sisi lain langkah terobosan tersebut bisa dijadikan sebagai early warning bagi pengelola KSP agar tidak main-main dalam mengelola duit nasabah,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas