Pemerintah Didorong Siapkan Ekosistem untuk Geliatkan Wisata Kesehatan di Tanah Air
Terdapat 2 juta warga Indonesia berobat ke luar negeri dan menghabiskan Rp 161 triliun per tahunnya.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah disarankan membentuk wadah untuk tempat interaksi para pelaku industri wisata dengan pengelola rumah sakit agar bisa lebih serius menggarap wisata kesehatan atau medical tourism di Indonesia agar tidak semakin besar devisa negara yang keluar.
"Ada 2 juta warga Indonesia berobat ke luar negeri dan mnghabiskan Rp 161 triliun per tahunnya. Padahal banyak rumah sakit kita yang berakreditasi internasional. Ada banyak hal yang perlu diperbaiki dari layanan rumah sakit di Indonesia agar demand wisata medis ini tidak makin meningkat ke luar negeri. Misalnya, layanan nakes kita kepada pasien masih kurang ramah, waktu konsultasi dokter ke pasien juga terbatas alias kurang lama dan teknologinya ketinggalan," ujarnya.
Rekomendasi tersebut disampaikan Dr. dr Ediansyah, M.A.R.S., M.M saat mempertahankan disertasi program doktornya berjudul “Pengaruh dan Anteseden Kemampuan Berjejaring terhadap Kinerja Rumah Sakit yang Dimoderasi oleh Ekosistem Wisata Medis dan Dinamika Lingkungan Eksternal” dan dipaparkan dalam Sidang Promosi Doctor of Research in Management (DRM) BINUS Business School, di Kampus BINUS, Kemanggisan, Jakarta, Sabtu, 11 Maret 2023.
Dr. dr Ediansyah juga merekomendasikan agar Pemerintah memberikan insentif ke rumah sakit yang fokus mengembangkan wisata medis. Dia menyebutkan, saat ini sudah ada beberapa rumah sakit di Tanah Air yang mengembangkan wisata medis. Diantaranya RS Premier Bintaro yang dikelola grup Ramsay Hospitals dan RS Mandaya di Puri Indah, Jakarta Barat.
Baca juga: Jokowi Sebut 2 Juta Warga Indonesia Berobat ke Luar Negeri, Rp 165 Triliun Devisa Hilang
Dia menyebutkan ada faktor penarik dan faktor pendorong mengapa ada jutaan masyarakat Indonesia lebih percaya berobat ke rumah sakit di luar negeri ketimbang di rumah sakit lokal.
"Layanan rumah sakit di luar negeri sudah didukung teknologi modern, lebih lengkap dan layanan ke pasien didukung layanan penjemputan sejak dari airport," ujar dr Edianto.
Di Indonesia ada 3000 rumah sakit tapi yang boleh layani wisata medis menurut Kemenkes adalah RS kelas A dan B, sesuai aturan yang sekarang berlaku.
"Jumlah rumah sakit kelas A dan B mencapai 374 dan sudah terakreditasi internasional dengan tenaga medis profesional. Tapi kita belum mampu ciptakan ekosistem wisata medis, tidak hanya pihak RS atau pengelola wisata tapi perlu ada kolaborasi. Wadahnya belum dibentuk oleh Pemerintah. Kita membutuhkan wadah itu untuk saling berinteraksi,"imbuhnya.
Saran ke rumah sakit
Menurut dr Edianto, ada variabel yang sangat menentukan jika Indonesia dan pengelola rumah sakit serius ingin menggarap bisnis wisata medis.
Yakni mengembangkan kemampuan berjejaring. "RS harus memgembangkan kemampuan komunikasi SDM-nya. RS juga harus mengembangkan layanan unggulan. Misalnya dengan membaca potensi layanan berobat apa yang saat ini paling banyak dicari oleh pasien di Indonesia ketika mereka berobat ke luar negeri," bebernya.
Selain itu, pengelola rumah sakit juga harus lakukan transformasi digital.
"Kemudahan pasien mendaftar, kemudahan mendapatkan informasi layanan yang akan didapat, kemudahan interoperability antar rumah sakit terkait pengelolaan data rekam medis pasien karena data tersebut bukan milik rumah sakit tapi milik pasien," ujarnya.
"Riset saya belum meneliti pada aspek apa yang dilakukan oleh rumah sakit di luar negeri selama ini yang membuat mereka berhasil menyelenggarakan layanan wisata medis. Kita kekurangan dokter spesialis dan subspesialis. Di rumah sakit luar negeri seperti Penang, tarif biaya operasi pasien ditawarkan per paket dan harganya pasti," lanjutnya.
Dalam penyiapan materi disertasinya, DR dr. Ediansyah, M.A.R.S, M.M., yang juga direktur Rumah Sakit An-Nisa di Cibodas, Tangerang ini melakukan penelitian dengan mengumpulkan data secara online melalui kuesioner yang dibagikan kepada direktur rumah sakit kelas A dan B yang terakreditasi, baik nasional maupun internasional.
Menurut dr. Ediansyah, hasil penelitiannya menunjukkan kemampuan berjejaring, orientasi pasar, serta integrasi sumber daya berpengaruh positif terhadap kinerja rumah sakit. Penelitian ini juga membuktikan adanya hubungan dari tiap faktor kepada satu sama lain, dibantu dengan beberapa faktor lainnya.
Salah satunya adalah bagaimana ekosistem wisata medis dapat memperkuat hubungan antara kinerja rumah sakit dengan kemampuan berjejaring.
Dalam Sidang Promosi DRM ini hadir sebagai Ketua Sidang sekaligus Rektor BINUS University Prof. Harjanto Prabowo, S.E., M.M.; Promotor promovendus Prof. Dr. Mts. Arief, MBA., CPM.,; Kopromotor Prof. Dr. Ir. Mohammad Hamsal, MSE., MQM., MBA., CISCP., CPOD, dan Dr. Sri Bramantoro Abdinagoro, ST., MM; serta Dewan Penguji Prof. Idris Gautama So, SE., S.Kom., M.M., Ph.D, Dr. Asnan Furinto, S.T., M.M., MBA, dan Dr. dr. Sutoto, M.Kes.
Baca juga: PMI Sumbang Devisa hingga Rp 159,6 Triliun, Stafsus Presiden Dukung Penambahan Anggaran BP2MI
Selain itu, juga dihadirkan narasumber ahli, Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D, Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Khusus Menteri Kesehatan RI.
"Penelitian Dr. dr. Ediansyah dapat memberikan kontribusi dalam keberlanjutan
pembangunan di bidang sosial yang tidak hanya berguna di masa sekarang, tapi hingga puluhan tahun ke depan atau bahkan selamanya,” ujar Dr. Sri Bramantoro Abdinagoro, S.T., M.M. selaku co-promotor dan Deputy Head of Doctor of Research in Management BINUS Business School.
"Kita di DRM Binus siap mencetak doktor doktor baru, membantu mereka melakukan riset seperti yang dilakukan oleh dr Edianto ini. Ekosistem medical tourism ini memang harus diinisiasi dengan konsep kolaborasi, menjalankan bersama sama," ujar Prof. Dr. Ir. Mohammad Hamsal, MSE., MQM., MBA., CISCP., CPOD, Head of Corporate Strategy and Agility, Area of Knowledge Inquiry in Doctor of Research in Management Program BINUS Business School.
Dr. Sri Bramantoro Abdinagoro, S.T., M.M, Deputy Head of Doctor of Research in Management BINUS Business School menjelaskan, kampusnya membuat konsep program doktoral untuk mahasiswa 3 tahun sudah tuntas. "Kita dorong tema riset dibuat di depan dan berkorelasi dengan disertasi yang akan diangkat. Kita juga dorong pertemuan mahasiswa dengan tim promotornya," ujarnya.
"Kita punya batas maksimal.5 tahun untuk program doktoral. Dalam 3 tahun sudah lakukan penelitian, kalau 3 tahun belum lakukan penelitian, kita anggap yang bersangkutan tidak serius menempuh S3 dan akan kita minta mundur," imbuhnya.