Mengadu ke Presiden, Asosiasi Keluhkan Sulitnya Dapatkan Izin Ubah Net Metering
Sejumlah asosiasi PLTS Atap melakukan audiensi ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluhkan adanya pembatasan pemasangan PLTS Atap.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pelaku usaha pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS yang tergabung dalam sejumlah asosiasi berniat melakukan audiensi ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluhkan praktik pembatasan pemasangan PLTS Atap.
Sejumlah asosiasi yang akan menemui Presiden adalah Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA), Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (PERPLATSI), beserta Asosiasi Pembangkit Surya Atap Bali (APSA).
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan, sampai hari ini PLN enggan melaksanakan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum.
Padahal sejak Desember 2021, aturan tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari kementerian terkait.
Fabby menuturkan, pada Januari 2022 sejumlah anggota AESI di Jawa Barat sudah mengeluhkan kesulitan mendapatkan izin dari PLN sesuai dengan kebijakan baru di mana net metering diubah menjadi 100 persen dari yang sebelumnya 65 persen.
“Pada saat itu, semua laporan yang masuk dari pengusaha di Jawa Barat kesulitan, pengajuan izin yang sudah masuk dipending, tidak bisa dapat izin dari PLN,” jelasnya dalam media briefing di Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Kondisi ini kemudian meluas ke wilayah lain, ke Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga ke luar Pulau Jawa. Fabby menjelaskan, alasan PLN tidak menyetujui Permen ESDM PLTS Atap lantaran net metering 100 persen tidak akan memberikan nilai tambah apapun karena biaya “titip” listrik jadi tidak ada.
Di kasus lain, lanjut Fabby, PLN mau mengeluarkan izin pemasangan PLTS Atap yang kemudian diikuti surat edaran dari internal PLN yang memerintahkan perusahaan yang bersangkutan hanya boleh memasang 15% dari kapasitas listrik terpasang.
Baca juga: Pengamat: Indonesia Belum Siap Jalankan PLTS Atap, Strategi Pengembangannya Tak Jelas
Sebagai gambaran saja, jika suatu industri berencana memasang PLTS Atap 10 Megawatt (MW), maka perusahaan tersebut hanya bisa memasang 1,5 MW saja.
Sejatinya pelaku usaha PLTS telah melakukan pembicaraan dengan Kementerian ESDM. Namun ESDM tidak bisa berbuat banyak.
Fabby bilang, PLN berlindung di balik Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN lantaran adanya risiko fiskal yang akan dihadapi perusahaan listrik pelat merah ini.
Baca juga: PLTS Terpusat 70kWp Pulau Balang Caddi Sulawesi Selatan Kini Bisa 24 Jam Layani Masyarakat
Ihwal risiko fiskal tersebut ialah potensi hilangnya sebagian pendapatan PLN karena masyarakat mampu memproduksi listriknya sendiri.
“Kami melihat adanya tindakan PLN mengabaikan pelaksanaan Permen ESDM No 26 Tahun 2021. Masalah ini punya risiko ekonomi lebih besar dibandingkan keuntungan atau kerugian PLN semata,” kata Fabby.
Fabby menyebut, ada ribuan potensi kerugian yang akan dirasakan seperti gugurnya perusahaan-perusahaan di sektor PLTS dan berujung pada hilangnya pekerjaan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.