Ekspor Gak Harus Mahal, Pedagang Asal Batang Ini Kirim Ribuan Daster ke Singapura
Toko daster Fulaizah asal Kabupaten Batang berhasil mengekspor ribuan daster ke Singapura, ini ceritanya!
Penulis: Muhammad Fitrah Habibullah
Editor: Vincentius Haru Pamungkas
TRIBUNNEWS.COM - Daster adalah salah satu pakaian favorit kaum hawa di Indonesia karena bahannya yang nyaman digunakan untuk beraktivitas di rumah. Dijual hanya dengan harga berkisar antara 50rb - 100rb per lembar, siapa sangka produk yang biasa ditemukan di pasar kini juga jadi incaran warga di Malaysia dan Singapura?
Muhammad Slamet Mulya Ainul Yaqin, pemilik toko daster batik bernama Fulaizah asal Kabupaten Batang, Jawa Tengah, mengaku cukup kaget produk daster yang biasa ia jual ke berbagai kota di Indonesia kini juga diburu masyarakat dunia. “Saya awalnya cuma punya mimpi bisa jadi penjual di Pasar Banjarsari. Ternyata sekarang saya bisa ekspor hasil karya sendiri ke luar negeri,” jelasnya.
Berjualan merupakan mimpi Mulya sejak SMA. Di umur 19 tahun, Mulya mencoba peruntungannya berjualan asinan menggunakan gerobak, hingga akhirnya tertarik memiliki sampingan jadi reseller batik online karena melihat kesuksesan orang tua temannya. Setelah 3 tahun berjualan secara online, Mulya lantas belajar memproduksi produknya secara mandiri pada 2019. Kendati seller-seller batik online dari daerah sekitarnya mulai bermunculan, Mulya menyadari motif dan pola yang beredar masih monoton.
Tanpa berbekal pengalaman membatik, Mulya bergerilya menimba ilmu dari teman-teman seperjuangannya, bahkan blusukan ke penjahit yang ada di sekitaran Kabupaten Batang dan Kota Pekalongan.
Dilansir dari Twitter Txtdarionlshop, produk daster dari toko Fulaizah milik Mulya kini berhasil menembus pasar Malaysia dan Singapura dan laku keras, padahal hanya dibanderol dengan harga tidak lebih dari Rp60.000. Lebih dari 1.200 daster karya Mulya sudah dibeli pelanggan di Malaysia lewat platform ecommerce Shopee yang menawarkan program ekspor gratis bagi penjual di platformnya, sehingga siapa saja dapat ekspor dengan mudah.
Masa Depan Ekspor bagi UMKM
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seperti toko Fulaizah ini memang merupakan salah satu mesin penggerak perekonomian nasional. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa UMKM berkontribusi terhadap 60,51 persen PDB dan mampu menyerap hampir 96,92 persen dari total tenaga kerja nasional.
Tidak hanya di dalam negeri, UMKM juga memiliki potensi yang sangat besar untuk melakukan perluasan pasar melalui program ekspor. Bahkan Kemenparekraf memperkirakan nilai ekspor produk ekonomi kreatif dari UMKM, bisa menembus 26,46 miliar dolar AS atau Rp397,98 triliun pada 2023.
Membahas mengenai ekspor, beberapa waktu belakangan ini memang terdapat diskusi terkait adanya revisi Permendag Nomor 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PSME) yang dijanjikan bisa melindungi UMKM dari gempuran produk asing. Salah satu aturan yang direncanakan direvisi adalah pembatasan harga barang minimum produk cross border (impor). Rencananya, pemerintah akan melarang penjualan produk cross border di bawah US$ 100. Artinya produk senilai US$ 100 tidak akan bisa masuk ke Indonesia. di mana harga barang minimum produk impor ditetapkan di atas $100 atau sekitar Rp1.500.000, sehingga barang senilai di bawah $100 tidak akan bisa masuk ke Indonesia.
Disampaikan pemerintah bahwa revisi ini juga diharapkan dapat mendukung persaingan yang adil dan sejajar dalam ekosistem digital di tanah air melalui aturan terkait praktik cross border yang saat ini dinilai belum diregulasi. Keadaan ini disinyalir menekan daya saing produk dalam negeri.
Dikutip dari Kontan dalam kesempatan yang berbeda (8/3), Bima Laga sebagai perwakilan idEA sejatinya menyetujui adanya revisi Permendag No. 50 Tahun 2020, asalkan hal ini bertujuan untuk melindungi pelaku UMKM di Indonesia yang go digital dan masuk e-commerce.
“Kita harapkan, misalnya terkait De Minimis (Batas Minimum). De Minimis kita itu sudah paling rendah se-Asean boleh dicek deh, yaitu US$5 dolar. Jadi beli barang lebih dari US$5 dolar kita sudah bayar pajak. Kalau kita mau menolkan De Menimis akan ada balasan atau retaliation begitu barang UMKM kita mau masuk ke negara tujuan ekspor. Kita tidak mau seperti itu. Kita tidak ingin aturan yang nanti direvisi akan menyerang balik UMKM kita,” katanya.
Wacana revisi Permendag seyogyanya memiliki tujuan yang baik karena ingin melindungi UMKM yang sedang bergerak menuju digitalisasi dengan berjualan melalui e-commerce dan merambah pasar ekspor. Namun, pemerintah juga perlu berhati-hati dalam membatasi produk dengan nilai tertentu. Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi masalah baru karena semakin sulitnya potensi produk UMKM Indonesia untuk bisa diekspor ke luar negeri, terutama untuk produk dengan harga yang murah.
Pemerintah sebenarnya punya opsi dengan melakukan pembatasan berdasarkan kategori produk yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri atau tidak bersaing langsung dengan produk unggulan di dalam negeri. Opsi ini akan lebih diterima dan kecil kemungkinan dapat menimbulkan retaliasi dari negara lain.
Dengan adanya respons pasar global yang positif serta ruang gerak dan dukungan yang diberikan oleh pemerintah, UMKM diharapkan dapat memanfaatkan kesempatan yang tersedia untuk bisa memperluas jangkauan bisnis mereka, salah satunya melalui program ekspor di e-commerce.
Contohnya adalah Mulya yang kini sudah bekerja sama dengan 5 ‘pabrikan’ di Kabupaten Batang untuk bisa memenuhi pesanan dalam negeri sekitar 2.000 daster batik per harinya dan kini menjadi tumpuan bagi belasan karyawan yang ia berdayakan lewat tokonya.
“Selain ikhtiar, pastinya kita juga harus perhatian kualitas. Misalnya menggunakan keyword yang sesuai di negara tersebut, sebagai contoh daster menjadi dress/night gown dan jangan lupa untuk mengatur promosi di toko online seperti Shopee dengan baik untuk membuat produk terlihat lebih menarik di halaman pencarian,” tutupnya.