Cegah Perubahan Iklim Ekstrem Pemerintah RI Didesak Kebut Proses Transisi Energi
Target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) per 2030 ditingkatkan menjadi 34% dari sebelumnya 23,4%.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Baru-baru ini, dalam pidato Opening Ceremony Hannover Messe yang berlangsung Senin (17/4/2023) Presiden Joko Widodo (Jokowi) seolah memberi angin segar dengan mengatakan menutup semua PLTU 2025.
Tak lama kemudian pihak istana meralat pernyataan itu dan menyebut seluruh pembangkit batubara baru akan ditutup pada 2050 dan menyebut bahwa di tahun 2025, 23 persen energi berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT).
Bagi pemerintah Indonesia, tahun 2023 adalah tahun krusial karena harus merilis Rencana Investasi untuk implementasi JETP (Just Energy Transition Partnership).
Baca juga: Kejar Target Bauran EBT 23 Persen, Pemanfaatan Energi Panas Bumi Mulai Digenjot
JETP memberi Indonesia mandat untuk mengurangi emisi karbon dari sektor energi hingga kurang dari 290 juta ton per 2030 lebih ketat dari target sebelumnya 357 juta ton.
Selain itu, target bauran EBT (Energi Baru Terbarukan) per 2030 ditingkatkan menjadi 34% dari sebelumnya 23,4%. Target ambisius ini membutuhkan upaya besar, namun kajian yang diluncurkan Trend Asia dan CREA bertajuk “Ambiguitas vs Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia” menilai bahwa kebijakan pemerintah selama ini masih jauh belum memadai dan memiliki sejumlah catatan.
Saat ini, mayoritas jaringan listrik Indonesia berada dalam kondisi kelebihan pasokan (oversupply). Jaringan Jawa-Bali oversupply sejumlah 30%, bahkan jaringan Sulawesi mengalami kelebihan kapasitas terpasang hingga 69%.
Kondisi tersebut membebani keuangan BUMN yang mengurus listrik yang tetap harus membeli kelebihan listrik. Kondisi ini buruk bagi iklim dan emisi karbon mengingat setengah dari bauran listrik ini berasal dari batu bara.
“Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah Indonesia seharusnya lebih progresif dalam membentuk kebijakan transisi energi demi memenuhi target 1,50 C, salah satunya dengan melakukan mempercepat pensiun dini PLTU batubara,” tutur Peneliti dari Trend Asia, Andri Prasetiyo dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Kamis(4/5/2023).
Namun, alih-alih menuntaskan, pemerintah malah merencanakan peningkatan porsi batubara dan energi fosil lain dalam bauran listrik Indonesia pada RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik).
Pemerintah merencanakan 40,6 GW listrik fosil untuk komersialisasi antara tahun 2021 dan 2030, dari jumlah tersebut,34% di antaranya yaitu 13,8 GW berasal dari batu bara dan 14% 5,8 GW dari gas dan diesel.
Rencana transisi energi Indonesia juga masih dipenuhi dengan ambiguitas. Dalam RUPTL yang diterbitkan pada tahun 2021 dan disebut sebagai “RUPTL hijau”, dari usulan 40,6 GW yang teridentifikasi untuk memenuhi permintaan listrik di masa mendatang, 50 persen diantaranya masih menggunakan bahan bakar fosil.
Meski Presiden Jokowi menekankan bahwa ia akan melarang dan membatalkan PLTU baru kecuali mereka telah mendapatkan persetujuan keuangan atau sedang dalam tahap konstruksi, beberapa pembangkit listrik dengan status PPA (Power Purchase Agreement) dan tanggal operasi komersial (COD) pada tahun 2024 atau lebih tidak dibatalkan dalam RUPTL 2021-2030.
Namun, yang dilakukan malah mempercepat proyek Fast Track Program (FTP) 1, FTP 2, dan megaproyek 35 GW. Dari megaproyek 35 GW itu, 70% diantaranya merupakan usulan pembangkit batubara, termasuk PLTU yang belum mendapat persetujuan finansial.