'Net Zero Emission Jauh dari Target, Hampir 100 Persen Kendaraan Masih Gunakan BBM Fosil'
Progres revolusi mental yang digaungkan Presiden Joko Widodo khususnya dalam hal transisi energi dinilai belum optimal, atau masih jauh dari target.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Progres revolusi mental yang digaungkan Presiden Joko Widodo khususnya dalam hal transisi energi dinilai belum optimal, atau masih jauh dari target.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengatakan, penilaian itu sebenarnya tidak berlebihan karena dalam waktu hampir 10 tahun revolusi mental belum memberikan hasil maksimal.
Menurut Fahmy, revolusi mental dibutuhkan dalam transisi energi yang bertujuan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060, lantaran revolusi mental mendorong perubahan paradigma penggunaan energi bersih, yang ramah lingkungan.
Baca juga: Kementerian ESDM Kembangkan Bioetanol Lebih Masif untuk Campuran BBM Kendaraan
"Syarat utama dalam pencapaian NZE adalah 0 persen karbon dari knalpot kendaraan bermotor, 0 persen karbon dari asap pabrik, dan 100 persen pembangkit listrik EBT," ungkap Fahmy dalam pernyataannya kepada Tribunnews, Rabu (19/7/2023).
"Hingga kini pencapaian syarat itu masih sangat minim," sambungnya.
Fahmy melanjutkan, hampir 100 persen kendaraan bermotor masih menggunakan BBM fosil, lebih 90 persen pabrik masih menyumbang karbon dalam jumlah besar.
Bahkan, sekitar 56 persen pembangkit listrik masih mernggunakan energi kotor batu bara.
Untuk mempercepat memenuhi syarat itu, lanjut Fahmy, perlu diterapkan revolusi mental lantaran dibutuhkan perubahan paradigma secara radikal untuk migrasi dari penggunaan energi fosil menjadi energi baru terbarukan (EBT).
Padahal Indonesia sesungguhnya memliki sumber EBT yang berlimpah-ruah, di ataranya biothermal, biomass, biofuel, tenaga surya, tenaga angin, micro hydro, energi gelombang laut, hingga energi nuklir.
Namun masalahnya, selain belum adanya perubahan paradigma, Indonesia juga tidak memiliki teknologi untuk mengembangkan EBT.
Agar tidak tergantung teknologi negara asing, lanjut Fahmy, harus ada urgensi untuk mengembangkan teknologi EBT secara mandiri.
Baca juga: Kementerian ESDM Kembangkan Bioetanol Lebih Masif untuk Campuran BBM Kendaraan
"Pasalnya, kemandirian merupakan salah satu esensi revolusi mental," papar Fahmy.
"Penguasaan teknologi secara mandiri harus dilakukan melalui pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) anak bangsa dalam peningkatan kapabilitas teknologi (technological capability) EBT," lanjutnya.
Fahmy melihat, PT PLN (Persero) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menjalin kerja sama untuk meningkatkan kapasitas SDM dan kapabilitas teknologi EBT.
Upaya ini sesungguhnya merupakan penerapan revolusi mental untuk melakukan perubahan paradigma dan penguasaan teknologi EBT secara mandiri.
"Tanpa penerapan revolusi mental mustahil akan terjadi perubahan paradigma untuk migrasi dari energi fosil kotor ke EBT dan penguasaan tekonologi EBT secara mandiri. Mustahil juga tujuan transisi energi untuk mencapai NZE pada 2060 tercapai," pungkasnya.